Jalur non aktif kereta api di Pulau Jawa sepertinya tak ada habisnya untuk dibahas. Selain sejarahnya yang kental, peninggalannya pun menjadi tak terlupakan. Mengingat jalur kereta api maupun bangunannya yang saat ini masih dapat dilihat bahkan dinikmati. Dan tentunya menjadi cagar budaya yang masih dilestarikan.
Tak hanya jalur selatan kereta api yang menjadi ikonik jalur kereta api non aktif yang masih dapat dijumpai dan dibahas secara menarik, tetapi juga bisa menambah ilmu pengetahuan tentang sejarah panjang perkeretaapian. Tak hanya jalur dan bangunan yang sudah tak terpakai namun terawat, ada pula jalur kereta api yang pernah terhubung pada bangunan tertentu yang menghasilkan karya dan kebutuhan masyarakat saat itu.
Seperti hal yang dibahas kali ini mengenai jejak sejarah jalur kereta api di Kota Batik alias Kota Pekalongan. Kota ini menjadi sejarah penting bagi perkeretaapian pada masa kolonial Belanda bahkan pendudukan Jepang. Sejarah panjang jalur tersebut memang masih kental untuk dibahas bagi masyarakat yang gemar sejarah Indonesia khususnya perkeretaapian.
Ya, pada masa Kolonial Belanda di Kota Batik ini ternyata pernah berdiri jalur kereta api menuju wilayah selatan Pekalongan. Lebih tepatnya jalur yang melayani rute dari Stasiun Pekalongan menuju Wonopringgo yang saat itu terdapat pabrik gula. Saat itu pabrik gula di Pekalongan memang sangat terkenal dengan bangunan khas era Belanda.
Jalur ini dibuka pada tahun 1916, Pembangun dan operator jalur ini adalah sebuah salah satu perusahaan swasta Hindia Belanda, Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). Pembangunan jalurnya dilakukan dalam 2 segmen yaitu Pekalongan-Kedungwuni yang diresmikan 7 Februari 1916 dan diteruskan ke Wonopringgo pada 1 Desember 1916.
Dikutip dari laman Jawa Pos, Saat beroperasi jalur yang melewati dalam Kota Pekalongan ini digunakan untuk mengangkut gula dari Pabrik Gula Wonopringgo. Selain itu digunakan juga untuk mengangkut penumpang ke berbagai kota di Jawa, jalur ini juga terdapat beberapa stasiun seperti Wonopringgo, Kedungwuni, Kembangan, Kepuh, Buaran, dan Tirto hingga Pekalongan.
Namun sangat disayangkan, terkenalnya jalur ini harus berakhir bahkan tak beroperasi. Padahal masyarakat saat itu sudah sangat dimudahkan dengan adanya jalur kereta api baik untuk kebutuhan pabrik gula maupun untuk masyarakat. Terlebih kereta api yang sudah dioperasikan menjadi satu-satunya transportasi yang sangat mudah bagi masyarakat Kota Pekalongan.
Jalur tersebut tak bertahan lama, pada masa kependudukan Jepang pada tahun 1942 sebagian rel pada jalur ini dibongkar. Selama 3,5 tahun Jepang berkuasa, rel bekas dan perangkat jalur ini diangkut menuju Burma dan Pekanbaru unuk keperluan Perang Dunia II. Sekarang bekas jalur kereta api sudah sulit ditemukan akibat pembongkaran oleh tentara Jepang dan Romusha saat itu.
Saat ini di Kedungwuni juga terdapat sisa stasiun kecil, Wilayah bekas rel di Buaran hingga Kedungwuni biasanya disebut dengan Sepuran, sebagai contohya ada kampung Gembong Sepuran, Paesan Sepuran, Ambokembang Sepuran dan Pekajangan Sepuran.
Tanah didaerah tersebut menjadi aset milik PT Kereta Api Indonesia Persero (KAI) Daerah Operasi (Daop) 4 Semarang, Selain itu juga terdapat bekas jembatan kereta api di Kali Sengkarang Kedungwuni sebagai peninggalan yang masih tersisa.
Merasakan Nuansa Khas Vintage Stasiun Gundih di Jalur Penghubung Semarang-Solo
