Pada periode 1914-1918 atau saat meletusnya Perang Dunia I, layanan kereta di Pulau Jawa yang dibangun Belanda memiliki kekhasan, diantaranya tidak beroperasi setelah petang. Bisa dikatakan kereta-kereta ini akan berhenti antara pukul 6 dan 7 malam. Kemudian kereta tersebut akan kembali beroperasi pada pagi harinya, sehingga perjalanan dari Batavia (Jakarta) ke Surabaya membutuhkan waktu lebih dari seharian atau 29 jam.
Baca juga: [Bagian 1] Jalur Kereta Jawa Pra Kemerdekaan – Hanya Beroperasi Sampai Pukul 6 Sore
Namun setelah Perang Dunia I berlalu, jalur baru dibangun yang menghubungkan Chirebon (Cirebon) di pantai utara, dimana Pulau Jawa berada di titik tersempitnya dan Kroja (Kroya) di sisi selatan.
Dirangkum KabarPenumpang.com dari mikes.railhistory.railfan.net, pembukaan jalur baru ini juga untuk mengurangi waktu kereta tercepat yang tadinya ditempuh selama 29 jam menjadi 13 jam untuk panjang jalur 512 mil atau 823,9 km. Ini untuk pertama kalinya keseluruhan perjalanan diselesaikan antara matahari terbit dan terbenam. Sejak adanya jalur baru ini pun waktu tempuhnya berkurang hingga 12 jam 20 menit dengan kecepatan rata-rata 41,5 mph atau 66,78 km per jam.
Perjalanan dengan waktu tempuh 13 jam pun sudah termasuk selusin perhentian menengah dan pendakian ke puncak atau jalur tertinggi. Adanya jalur baru ini pun membuat kereta yang berangkat dari Stasiun Weltevreden di Batavia yang menuju Surabaya melakukan perjalanan tanpa henti lebih dari seratus mil atau tepatnya 133,5 mil (214,8 km) ke Cirebon. Bila di total hitungan jam dari Batavia ke Cirebon waktu tempuhnya kurang dari tiga jam.
Pada masa itu pun waktu yang diizinkan untuk bergerak ke arah timur adalah 173 menit dan ke barat 171 menit dimana kereta berjalan dengan kecepatan 75,3 km per jam dari awal bergerak hingga akan berhenti. Sedangkan pengaturan waktu dari Cirebon menuju Prupuk atau Surakata menuju Madiun yakni 77 menit dan ini merupakan waktu perjalanan tercepat di Pulau Jawa.
Tak hanya itu perjalanan dari Kroya menuju Yogyakarta yang ditempuh dengan jarak 140 km ini juga menjadi yang terpanjang tanpa henti. Kereta Ekspres Limited ini terdiri dari enam gerbong penumpang dan satu gerbong makan yang dijalankan oleh lokomotif Pasifik.
Beberapa diantara gerbong-gerbong ini dibuat di Belanda dan lainnya di Swiss. Kereta di rancang untuk bergerak dengan kecepatan 96,5 km per jam dengan bobot per kereta 300 ton. Lokomotif yang digunakan untuk menarik gerbong-gerbong kereta pada masa ini pun beragam yakni lokomotif sederhana dua silinder dan lainnya adalah empat silinder.
Untuk tender roda delapan besar juga dilakukan agar air yang digunakan cukup serta bahan bakar dapat ditampung pada jalur tanpa henti tersebut. Sayangnya lebih dari beberapa bagian pegunungan di pedalaman pulau perjalanan kereta adalah masalah yang jauh lebih sulit, seperti antara Pegunungan Preanger, di ujung barat, ada beberapa fitur luar biasa tentang rekayasa berbagai jalur yang menghubungkan kota-kota utama.
Baca juga: Lokomotif Mallet “Si Gombar” yang Tak Lagi Menghembuskan Uapnya
Jalur utama lama, yang digunakan oleh Batavia-Soerabaja melalui kereta sebelum pembukaan cut-off Cirebon-Kroya, meninggalkan jalur Cirebon di Tjikampek (Cikampek), dan berbelok ke selatan. Di Poerwakarta (Purwakarta) pendakian ke pegunungan dimulai, dan lokomotif tipe Mallet yang lebih kuat mengambil alih perjalanan kereta saat itu. Lokomotif Mallet adalah lokomotif uap dengan dua bogie yang berdekatan satu sama lain. Lokomotif Mallet yang terkuat adalah DD52 atau dikenal juga dengan sebutan “Si Gombar.”
Kisah jalur kereta api pra kemerdekaan di Pulau Jawa masih berlanjut, nantikan di artikel selanjutnya. (Bersambung)