Meski sama-sama berstatus sebagai pilot, kopilot dan kapten pilot memiliki porsi pekerjaan masing-masing saat dalam penerbangan. Namun, pada pelaksaannya, pilot dan kopilot terkadang menangani sesuatu yang sama, salah satunya throttle (yoke atau sidestick) saat lepas landas. Kenapa demikian?
Baca juga: Teknologi Baru Sidestick Bikin Boeing Kepincut dan Tinggalkan Yoke Sebagai Sistem Kemudi?
Dilansir Quora, saat lepas landas, awak kokpit terbagi menjadi dua dengan masing-masing tugasnya; pilot flying dan pilot monitoring.
Kapten pilot, dengan segudang pengalaman dan kemampuannya, biasa diplot menjadi pilot flying. Itu berarti, segala hal terkait prosedur lepas landas dijalankan dengan baik atau tidak ditangan kapten pilot. Sebagai pilot flying, kapten pilot juga berhak memutuskan apakah pesawat tetap melanjutkan lepas landas atau membatalkan lepas landas (rejected takeoff).
Rejected takeoff sendiri ialah kondisi dimana pilot membatalkan lepas landas saat pesawat belum mencapai kecepatan yang dibutuhkan untuk mengudara atau V1. Itu berarti, ketika rejected takeoff diambil, secara teori, pesawat harusnya sudah diprediksi masih cukup waktu untuk berhenti sebelum ujung runway.
Menurut Skybrary, rejected takeoff bisa dikategorikan pesawat sedang dalam posisi kecepatan rendah maupun kecepatan tinggi. Produsen pesawat umumnya mengartikan transisi pada dua kategori ini (kecepatan rendah maupun tinggi) antara kecepatan 80 dan 100 knot.
Dalam panduannya Boeing, dijelaskan alasan pilot menolak lepas landas didorong oleh setidaknya lima hal. Kelimanya tak dapat ditolelir dan sangat berisiko membahayakan penerbangan.
“Lepas landas dapat ditolak karena berbagai alasan, termasuk kerusakan mesin, indikator atau alarm peringatan lepas landas, arahan dari kontrol lalu lintas udara (ATC), ban pecah, atau peringatan sistem.”
Umum diketahui, pesawat rawan mengalami kecelakaan, terutama saat take off dan landing; tiga menit pertama (take off) dan delapan menit terakhir penerbangan (landing) atau biasa juga disebut Plus Three Minus Eight (critical eleven).
Sudah banyak insiden kecelakaan pesawat terjadi selama periode critical eleven atau selama proses take off dan landing. Keduanya sama banyaknya. Namun, bila ditelisik lebih dalam, insiden kecelakaan selama proses take off lebih banyak terjadi.
Gentingnya proses lepas landas, dimana salah dan respon telat sedikit saja bisa jadi fatal, pun disiasati dengan ketatnya SOP kru kokpit. Salah satu SOP-nya adalah kopilot tetap memegang throttle sekalipun kapasitasnya saat lepas landas hanya sebagai pilot monitoring.
Baca juga: Mengenal Throttle, Kontrol Pesawat yang Diduga Jadi Penyebab Kecelakaan Sriwijaya SJ-182
Dengan begitu, andai pilot incapacitated (pilot incapacitation) atau kondis darurati dimana pilot tak bisa menangani pesawat, maka kopilot bisa segera mengambil alih pesawat dan mengambil keputusan, entah rejected atau lanjut untuk kemudian return to base (RTB).
Insiden pilot incapacitation memang jarang terjadi, tetapi pernah. Tahun ini, sampai artikel ini ditulis, setidaknya telah terjadi tiga insiden pilot incapacitation; pilot easyJet, pilot Austrian Airlines, dan satu lagi terjadi pada pesawat non-komersial. Beruntung, semuanya berakhir selamat.