Di dekade 70-an hingga 90-an dikenal sebagai masa keemasan bagi maskapai flagship Garuda Indonesia. Dikala itu, Garuda Indonesia mampu melayani penerbangan ke beberapa kota di Eropa, bahkan melayani penerbangan ke Hawaii dan Los Angeles di Amerika Serikat. Diantara kenangan masa keemasan Garuda Indonesia, publik lekat dengan beberapa pesawat yang khas pada masa itu, seperti Douglas DC-9 untuk melayani penerbangan domestik. Sementara untuk penerbangan jarak menengah – jauh, Garuda Indonesia mengoperasikan armada wide body seperti Boeing 747-200, Airbus A300, dan DC-10.
Baca juga: DC-9 Garuda Indonesia, Andalan Penerbangan Jet Domestik Era 80-an
Nah, yang disebut terakhir, yaitu DC-10 menjadi kenangan yang membekas bagi banyak penumpang di era tersebut. Inilah jet berbadan lebar Garuda Indonesia yang tampil dengan tiga mesin, dimana salah satu mesin berada di sayap vertikal. DC-10 adalah pesawat yang dibuat oleh pabrikan McDonnel Douglas, Amerika Serikat. Dan yang diakuisi Garuda Indonesia adalah seri DC-10 30, jumlah yang dioperasikan maskapai plat merah ini pun lumayan banyak, yakni total ada 28 unit. Rute yang umum dilayani DC-10 Garuda yaitu ke Eropa, Australia dan Jepang. Tak itu saja, dimasa pemerintahan Presiden Soeharto, DC-10 Garuda kerap ‘disulap’ sebagai pesawat kepresidenan.
Dirunut dari sejarahnya, DC-10 lahir sebagai jawaban McDonnel Douglas setelah kemunculan Boeing 747-100. DC-10 pertama kali meluncur pada 29 Agustus 1970, dan dioperasikan perdana oleh maskapai American Airlines pada 5 Agustus 1971. Pesawat ini disasar untuk memenuhi permintaan maskapai yang melayani rute penerbangan jarak menengah – jauh, yaitu penerbangan dengan jarak di rentang 3 ribu sampai 9 ribu kilometer.
Baca juga: Seragam Pramugari Garuda, Beda Warna, Beda Pula Arti dan Jabatannya
Dari kapasitas, DC-10 dapat memenuhi harapan maskapai. Untuk desain single class (economy) dengan jarak antar bangku 29 inchi, layout 2 – 4 – 2, maka pesawat ini dapat membawa sekitar 380 penumpang dalam sekali penerbangan. Garuda Indonesia resmi mengoperasikan DC-10 pada tahun 1978 sampai pertengahan 90-an. Dengan populasi 28 unit armada, Garuda Indonesia menjadi operator DC-10 terbanyak di kawasan Asia Tenggara.
Pesawat yang bisa disebut favorit banyak maskapai ini memang mendunia, dalam empat varian, total produksi DC-10 mencapai 446 unit. Konstruksinya yang kokoh, plus avionik yang canggih pada masanya, bahkan disebut-sebut lebih modern dibanding Boeing 747-200, menjadikan pesanan DC-10 mengalir deras sampai produksi terakhirnya pada tahun 1988.
Baca juga: Dilema Seat Pitch, Maskapai Tambah Untung Penumpang Merana
Meski canggih dan punya sejumlah keunggulan, DC-10 bukan tak punya kelemahan, ada beberapa kali kecelakaan yang melibatkan pesawat ini. Salah satunya fenomenal adalah DC-10 30 Garuda Indonesia PK-GIE yang hendak bertolak dari Fukuoka, Jepang. Dalam musibah tersebut 3 dari 275 penumpangnya tewas. Musibah ini diakibatkan pilot membatalkan penerbangan di saat pesawat sudah mencapai kecepatan 160 knots. Pilot disebutkan membatalkan penerbangan karena menemukan sesuatu yang tidak beres.
Lewat investigasi, akhirnya ditemukan bukti adanya kerusakan pada mesin General Electric CF6, lantaran keausan akibat masa pakai, dimana pihak Garuda belum mengganti komponen pada mesin turbin jet tersebut.
Meski kini tak lagi banyak mengangkasa, pesawat yang dibagun dari paltform DC-10 cukup sukses di pasaran. Di bidang militer, KC-10 Extender sampai saat digunakan sebagai pesawat tanker udara. Sementara pengembangan pada varian sipil, merujuk ke nama MD-11, yang juga sempat digunakan Garuda Indonesia. Sayangnya penjualan MD-11 tak sesukses DC-10, seperti halnya DC-10, pesawat trijet ini lebih banyak dioperasikan untuk angkutan kargo udara.