Thursday, December 12, 2024
HomeDestinasiDerita Traveler Asia Saat Corona, Terjebak Setelah 10 Bulan Melancong Hingga Diselamatkan...

Derita Traveler Asia Saat Corona, Terjebak Setelah 10 Bulan Melancong Hingga Diselamatkan Gereja

Kebijakan lockdown yang dilakukan negara-negara di dunia rupanya menyisakan cerita pilu, khususnya traveler yang berasal dari Asia. Sota Kidokoro, salah satu dari puluhan ribu turis Asia, misalnya, liburannya di Amerika Selatan tiba-tiba berubah menjadi petaka ketika wabah virus corona memaksa banyak negara di sana memutuskan lockdown.

Baca juga: Lockdown Serempak Bikin Travelers Hampir Mustahil Bepergian Lintas Benua

“Sayangnya, Kedutaan Besar Jepang tidak memberikan informasi kepada saya tentang penerbangan charter atau bus khusus ke Buenos Aires (ibukota Argentina),” kata Kidokoro, saat diwawancarai melalui sambungan telepon dari kota Esquel, Argentina, tempat dimana ia terjebak selama kurang lebih satu bulan.

Backpacker muda asal Jepang berusia 22 tahun tersebut diketahui meninggalkan Jepang 10 bulan yang lalu, untuk memulai perjalanan keliling dunia. Setelah menghabiskan waktu eksplore Nepal dan Turki, ia pun terbang ke Guatemala, Amerika Tengah, untuk melatih kemampuan bahasa Spanyolnya sambil melihat situs bersejarah abad keeanam peninggalan suku Maya.

Dari Guatemala, ia kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Buenos Aires melewati Chili bagian Selatan dan diharapkan tiba di ibu kota Argentina tersebut pada 20 Maret, enam hari sebelum penerbangan pulang ke Jepang pada 26 Maret. Namun, apa nyana, penyebaran Covid-19 yang begitu cepat memaksa Argentina menerapkan kebijakan lockdown mulai 16 Maret, saat ia baru sampai di Esquel, 1.900 km dari i Buenos Aires dan terjebak di sana selama lebih dari satu bulan lamanya.

“Sejak itu (lockdown), maskapai dan travel agent mengalami gangguan. Tidak mungkin menghubungi mereka melalui telepon atau email untuk menjadwal ulang keberangkatan saya atau refund,” ujar Kidokoro.

Sebetulnya, Sota Kidokoro bisa saja mendapatkan akses untuk keluar dari Argentina dan kembali ke Jepang, sebagaimana ribuan travelers lainnya yang juga berhasil keluar dari berbagai wilayah di Amerika Selatan. Namun, karena penerbangan repatriasi atau charter mematok biaya cukup tinggi, mencapai dua kali lipat dari harga normal, ia pun urung melakukannya.

Misalnya, pada penerbangan repatriasi dari Cusco, Peru ke Hong Kong, dalam kondisi normal hanya berkisar 15 ribu dolar Hong Kong atau $1.500. Namun, pada penerbangan repatriasi 5 April lalu, masing-masing wisawatan dipatok harga sebesar 30.000 dolar Hong Kong atau $ 3.800.

Akan tetapi, Sota Kidokoro bukanlah satu-satunya turis Asia di Amerika Selatan yang bernasib malang. Setidakya, sebanyak 18 warga Malaysia juga terjebak di Amerika Selatan, tepatnya di sebuah hotel di La Paz, ibu kota Bolivia setelah pemerintah setempat memutuskan untuk lockdown. Bahkan, kebijakan lockdown di sana jauh lebih ketat dibanding negara Amerika Selatan lainnya, dimana, warga dan turis hanya diizinkan keluar seminggu sekali di jam-jam tertentu untuk sekedar membeli berbagai kebutuhan selama lockdown.

Senada dengan Kodokoro, 18 turis Malaysia itu juga harus menghadapi kenyataan pahit. Sebetulnya, mereka bisa saja kembali ke negeri asal dengan penerbangan charteran atau repatriasi yang diinisiasi oleh Kedubes Malaysia di Peru, mengingat tidak ada perwakilan Malaysia di Bolivia. Namun, karena biaya terlampau mahal, mencapai sekitar $7.000, mereka pun urung melakoninya.

Cerita pilu juga datang dari travelers Asia lainnya di Amerika Selatan, yakni dari India dan Cina. Sedikitnya, sekitar 40 warga negara India terjebak di Peru, tepatnya di wilayah terpencil di Amazon Utara, Peru, dengan sedikit atau tanpa adanya akses internet dan kemudahan mendapat bahan makanan. Belum jelas bagaimana kronologi sampai mereka terjebak di wilayah seperti itu.

Tak jauh dari sana, sebanyak 45 warga negara Cina juga terjebak di wilayah terpencil di hutan Amazon. Bahkan, tiga di antaranya terjebak di Iquitos, sebuah di pinggiran Sungai Amazon yang terhubung ke Lima, ibu kota Peru, hanya melalui udara.

Baca juga: Hiburan di Tengah Pandemi, Pemadam Kebakaran di Rio de Janeiro Bikin Konser dari Atas Tangga Penyelamat

Salah satu dari mereka, Mo Wenfeng, mengungkapkan bahwa pemerintah Cina belum mau melakukan proses pemulangan kepada mereka karena jumlahnya terlalu sedikit. Mendapat kabar tersebut, ia dan rekan-rekan lainnya pun mengaku sudah putus asa untuk mencari cara keluar dari Peru. Bahkan, selama terjebak di sana, di beberapa momen, Mo sempat mendapat perlakuan diskriminasi dari warga lokal.

“Saya didiskriminasi oleh penduduk setempat bahkan sebelum pemerintah menerpkan kebijakan lockdown. Mereka memanggil saya ‘virus Cina. Keadaan pun menjadi sangat buruk ketika hotel tempat saya menginap mengusir saya karena saya dari Cina,” jelasnya, sebagaimana dikutip dari asia.nikkei.com. Dalam kondisi tertekan, ia pun berusaha mencari perlindungan hingga akhirnya sebuah panti jompo yang dikelola oleh Gereja lokal menerima kedatangannya dan diberikan fasilitas untuk karantina mandiri sambil diajari bahasa Spanyol.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru