Hari ini, 11 tahun lalu, bertepatan dengan 15 Desember 2020, Boeing 787 Dreamliner sukses terbang perdana. Meskipun mampu mengeruk pasar twinjet jarak jauh dan turut andil mempercepat Airbus A380 pensiun, namun, Dreamliner rupanya sempat digadang bakal menghadapi masa-masa terakhirnya atau stop produksi di penghujung tahun ini.
Baca juga: Di Ketinggian 35.000 Kaki, Boeing 787-900 Virgin Atlantic Berhasil Tembus Kecepatan Mach 1
Dilansir laman resmi Boeing, 787 Dreamliner lahir sebagai jawaban perusahaan terhadap teknologi industri ke depan. Dalam pandangan produsen pesawat asal Amerika Serikat (AS) itu, maskapai penerbangan di seluruh dunia menginginkan pengalaman baru perjalanan udara untuk para penumpang namun tetap mencapai efisiensi tinggi.
Di samping itu, maskapai juga relatif menginginkan pesawat yang tak terlalu besar, namun juga tak terlalu kecil untuk melayani penerbangan jarak jauh antar benua.
Oleh karenanya, Boeing pun mengembangkan pesawat dengan kriteria tersebut sehingga munculah 787 Dreamliner. Efisiensi bahan bakar yang tak tertandingi dan fleksibilitas jangkauan pesawat menjadi jualan utama Dreamliner yang memungkinkan maskapai untuk membuka rute baru, mengoptimalkan kinerja armada, dan jaringan.
Bagi penumpang, 787 Dreamliner dikalim memberikan pengalaman lebih, dengan menawarkan kenyamanan dan sebaliknya sedikit kelelahan.
Sejak memasuki tahun layanan pada 2011 silam, keluarga Boeing 787 (787-8, 9, dan 10), yang mengusung mesin twinjet (dua mesin) serta konfigurasi penumpang dikisaran 240-336 penumpang, telah menerbangi lebih dari 1.900 rute dan telah memungkinkan maskapai membuka lebih dari 235 rute baru setiap tahunnya.
Disebutkan, saat ini, dari ratusan maskapai di seluruh dunia, keluarga Boeing 787 Dreamliner telah dioperasikan sekitar 69 maskapai; meliputi Air Canada, Air China, Air France-KLM, ANA, Qatar Airways, Singapore Airlines, dan British Airways.
Meskipun berhasil digandrungi banyak maskapai di seluruh dunia, Boeing 787 Dreamliner bukan tanpa masalah. Hingga kini, bahkan, maskapai-maskapai yang menggunakannya harus memutar otak akibat permasalahan pada mesin Rolls-Royce Trent 1000.

Di antaranya ada Air New Zealand’s yang menangguhkan layanan penerbangan Auckland ke Shanghai dengan menggunakan Dreamliner. Ada juga British Airways yang biasa menerbangkan 787-9 ke Beijing dan Shanghai. Kemudian LOT Polish Airlines menggunakan Dreamliner untuk penerbangan ke Beijing dari Tallinn (ibukota Estonia) dan Warsawa (ibukota Polandia) hingga Virgin Atlantic Airways yang mengoperasikan penerbangan hariannya ke Shanghai dengan 787-9.
Terkait masalah mesin Rolls Royce, mungkin Dreamliner masih bisa mengandalkan varian mesin lainnya, GEnx-1B. Tetapi, perlu diingat, jauh sebelum permasalah pada mesin muncul, Boeing 787 Dreamliner juga pernah memiliki riwayat permasalahan pada sistem oksigen.
Sistem ini bekerja untuk tetap memasok oksigen bagi penumpang dan awak, saat tekanan udara dalam kabin turun (dekompresi). Masker udara akan turun dari langit-langit pesawat untuk memasok oksigen dari tabung gas. Tanpa sistem ini, siapa pun yang ada di pesawat akan lumpuh.
Baca juga: ‘Berkat’ Wabah Corona, Boeing 787 Dreamliner Air Tahiti Nui Pecahkan Rekor Penerbangan Terjauh
Pada ketinggian 35.000 kaki (sekitar 10.600 meter), kurang dari semenit penumpang akan pingsan. Pada ketinggian 40.000 kaki, mereka akan pingsan kurang dari 20 detik. Ini bisa disusul dengan kerusakan otak, bahkan kematian. Dekompresi sebetulnya jarang terjadi, tetapi bukan tidak pernah.
Bulan April 2018, jendela pesawat Southwest Airlines meledak, sesudah terhantam serpihan mesin yang rusak. Seorang penumpang yang duduk di samping jendela cedera parah dan kemudian meninggal dunia. Adapun penumpang lain bisa meraih oksigen darurat dan selamat. Masalah tersebut, walaupun tidak masif, namun cukup membuktikan bahwa permasalahan Dreamliner yang dilaporkan oleh John Barnett, eks manajer pengendalian kualitas di pabrik Boeing, benar adanya.