Hari ini 49 tahun lalu, bertepatan dengan 24 September 1975, menjadi sejarah kelam bagi dunia penerbangan nasional, setelah kecelakaan fatal menimpa Fokker F-28 Fellowship “Mahakam” milik Garuda Indonesia dalam penerbangan (Flight) 150. Meski terdapat korban selamat, namun puluhan penumpang tidak berhasil selamat dalam insiden yang terjadi di Sumatera Selatan ini. Lantas apa yang terjadi dalam insiden ini?
Baca juga: Fokker F-28, Pernah Menjadi Tulang Punggung Armada Garuda Indonesia
Garuda Indonesia Flight 150 adalah penerbangan domestik dari Jakarta (Bandara Kemayoran) menuju Palembang (Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II) yang mengalami kecelakaan pada 24 September 1975. Pesawat yang digunakan adalah Fokker F-28-1000 Fellowship dengan nomor registrasi PK-GVC.
Kronologi insiden ini dimulai ketika pesawat mendekati bandara Palembang pada pagi hari dengan kondisi cuaca yang buruk, termasuk kabut tebal yang membatasi jarak pandang. Pilot memutuskan untuk melanjutkan pendekatan dan pendaratan meskipun visibilitas sangat rendah. Ketika pesawat berusaha mendarat, jarak pandang yang terbatas menyebabkan pilot kehilangan orientasi terhadap posisi pesawat. Akibatnya, pesawat terbang terlalu rendah dan menabrak pepohonan.
Akibatnya pesawat jatuh dan hancur sekitar 2,5 kilometer sebelum landasan pacu Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, di daerah persawahan dekat Desa Suka Cinta.
Dari total 61 orang di dalam pesawat, 25 penumpang dilaporkan meninggal dunia, sementara 36 orang lainnya selamat tetapi mengalami luka-luka. Banyak korban yang tewas akibat cedera parah yang diakibatkan oleh benturan dan kebakaran yang terjadi setelah kecelakaan. Beberapa penumpang yang selamat berhasil keluar dari reruntuhan sebelum api membesar.
Investigasi KNKT menunjukkan bahwa kecelakaan disebabkan oleh kesalahan pilot dalam menilai ketinggian dan jarak terhadap landasan pacu saat kondisi cuaca buruk. Pilot diduga terbang terlalu rendah saat melakukan pendekatan. Cuaca yang buruk dengan jarak pandang yang sangat rendah akibat kabut tebal berperan besar dalam kecelakaan ini. Bandara Palembang saat itu tidak memiliki sistem pendaratan instrumen – Instrument Landing System (ILS) yang memadai untuk membantu pesawat mendarat dalam kondisi cuaca buruk.