Hari ini, 17 tahun lalu, bertepatan dengan 7 Maret 2007, pesawat Boeing 737 Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-200 mengalami kecelakaan fatal. Sedikitnya 22 orang, terdiri dari satu awak dan 21 penumpang, tewas. Setelah proses penyelidikan dilakukan, pilot Marwoto Komar ditetapkan menjadi tersangka dan divonis dua tahun penjara oleh pengadilan, menjadikannya sebagai pilot pertama yang dijatuhi vonis pengadilan.
Baca juga: Tragedi GA152: Sempat Terjadi ‘Kebingungan’ Identifikasi ATC dengan MA152
Disarikan dari berbagai sumber, pesawat Garuda Indonesia flight 200 terbang dengan membawa predikat sebagai salah satu maskapai yang tingkat keselamatannya paling buruk. Sejak tahun 1950, tercatat sudah ada 13 kecelakaan fatal, salah satunya adalah kecelakaan Garuda Indonesia flight 152 di Buah Nabar, Medan.
Setelah lepas landas dengan mulus dari Bandara Soetta pukul 06.00 WIB, pesawat dilaporkan siap mendarat pada pukul 6.49. Di sini, jarak pesawat dengan Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, sudah dikisaran 20 mil.
Berdasarkan rekaman black box cockpit voice recorder (CVR), pilot dan kopilot sempat melakukan briefing tak lama setelahnya. Pilot kemudian memutuskan pendaratan menggunakan approach instrumen landing system (ILS).
Namun, rencana tersebut ditolak ATC dan menggantinya dengan visual approach di bawah aturan long final dan lapor jika runway telah terlihat. Visual approach saat itu tentu sangat relevan mengingat kondisi cuaca dalam kondisi baik. Hanya saja, entah apa yang ada dibenak sang pilot, ia tetap kukuh bahwa pendaratan ILS approach tanpa sepengetahuan controller. Dari sinilah petaka dimulai.
Beberapa menit kemudian, flight 200 PK-GZC sudah mendapat visual bandara tersebut. Rekaman CVR menunjukkan, pilot mulai menurunkan landing gear.
Jelang mendarat, data menunjukkan, kecepatan pesawat masih dikisaran 290 knot, masih terlalu tinggi untuk final approach. Demikian juga dengan ketinggian pesawat. Menyadari hal itu, kapten pilot berusia 44 tahun dengan 13.421 jam terbang tersebut berusaha mengurangi ketinggian pesawat. Itu berhasil, namun kecepatan pesawat malah bertambah. Padahal, jelang pendaratan, tidak ditemukan masalah apapun pada pesawat.
Di sini, kapten meminta kopilot untuk menurunkan flaps ke 5 derajat, sesuatu tindakan yang tidak tepat untuk prosedur pendaratan pesawat. Kopilot Gagam S.R berusia 30 tahun dengan pengalaman 1.528 jam terbang pun menuruti perintahnya.
Sejurus kemudian, alarm EGPWS (Enhanced Ground Proximity Warning System) terdengar sebanyak 15 kali di kokpit. Namun, kapten tetap melanjutkan untuk final approach.
Sampai di sini, kopilot sebetulnya sudah menyarankan untuk go around karena alarm tersebut, tetapi ditolak mentah-mentah oleh pilot. Pesawat pun mendarat dengan kondisi flaps 5 derajat dan 860 meter di depan runway threshold dengan kecepatan 221 knot, 87 knot lebih tinggi dari pendaratan normal. Pesawat touchdown sangat keras dan bouncing dua kali.
Kopilot sebetulnya sempat meminta pilot untuk go around. Belum juga dijawab, pesawat kembali bouncing untuk kali ketiga. Setelah itu, landing gear bagian depan patah, pilot pun mengaktifkan thrust reversers untuk memperlambat pesawat. Sedikit berhasil, namun pesawat masih terus meluncur dan memercikkan bunga api akibat gesekan besi landing gear yang patah dengan aspal.
Baca juga: Mengenal Istilah Pilot Error, Gagalnya Keputusan Pilot yang Berujung Kecelakaan
Sambil terus meluncur, sayap kanan membentur tanah persawahan lalu patah. Patahannya terlempar ke arah kiri pesawat sehingga bertumpuk pada sayap kiri. Tidak pelak lagi, bahan bakar yang tertampung di bagian sayap tumpah dan menyebar ke area persawahan. Pesawat kemudian berhenti di persawahan dengan api yang cepat membesar.
Dari sederet bukti, sekalipun ditentang Federasi Pilot Indonesia serta Federasi Internasional Asosiasi Pilot Penerbangan (IFALPA), akhirnya pilot Marwoto Komar ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kecelakaan yang juga menewaskan warga negara asing tersebut serta melukai tokoh publik, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsuddin dan kriminolog Adrianus Meliala. Ia akhirnya menjadi pilot pertama yang dijatuhi vonis pengadilan 2 tahun penjara.