Sebuah riset dari Stanford University yang dimuat di The New York Times menyebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam 46 negara dengan jumlah rata-rata langkah kaki paling sedikit dari 111 negara yang diteliti. Orang Indonesia rata-rata hanya berjalan sebanyak 3.513 langkah kaki per hari. Jumlah tersebut jauh jika dibandingkan dengan Hong Kong yang penduduknya rata-rata berjalan 6.880 langkah per hari atau Cina dengan rata-rata 6.189 langkah per hari.
Baca Juga: Shibuya Crossing, Fenomena Perlintasan Padat Manusia Bebas Senggolan
Riset tersebut melacak 717.000 orang dari 111 negara di seluruh dunia, yang secara sukarela memantau 68 juta aktifitas setiap orang menggunakan sebuah aplikasi yang terpasang di smartphone dan jam tangan mereka. Tentu saja jam tangan tersebut merupakan rancangan khusus para peneliti Stanford. Seorang peneliti mengungkapkan bahwa ini merupakan studi pelacakan terbesar yang pernah ada.
Hasil riset diatas terdengar ironis, namun jangan melulu menyalahkan warga Indonnesia yang terkesan ‘malas’berjalan kaki. Terkhusus di Jakarta, meski belakangan sudah dilakukan upayan perbaikan serta pelebaran trotoar secara masif, namun kondisi trotoar di Jakarta secara umum masih dalam kondisi buruk. Bagaimana tidak, seolah sudah menjadi lumrah ketika banyak motor yang menggunakan trotoar sebagai akses jalan mereka ketika kondisi sedang macet, belum lagi kendaraan roda empat yang menjadikan trotoar sebagai lahan parkir dadakan mereka. Fenomena seperti ini tentu semakin menyita hak para pejalan kaki.
Pemanfaatan akses trotoar yang salah, dengan menjadi area parkir dan lintasan pemotor, secara langsung juga berimbas pada cepat rusaknya permukaan trotoar. Tak perlu sampai ke wilayah pinggiran, di pusat kota pun jamak terlihat ubin dan semen trotoar yang mulai lepas. Lebih parah lagi, adanya galian proyek kabel optik yang tumpang tindih memaksa pejalan kaki menggunakan badan jalan untuk menghindarinya. Tentu kondisi ini sangat berbanding terbalik dengan fitur kota yang sudah serba modern.
Malasnya warga Jakarta berjalan kaki juga disebabkan teriknya panas di Ibu Kota, serta sedikitnya pepohonan yang ada di tengah kota, itu semakin membuat para pedestrian enggan berjalan kaki. “Saya merasa sangat tidak nyaman menggunakan trotoar di Jakarta. Trotoar di sini sangat mengerikan, berbeda dengan di luar negeri yang memiliki trotoar yang luas, sehingga kami merasa lebih aman,” ujar Devi Spetiani (27 tahun), karyawati swasta yang berkantor di kawasan Jatinegara, Jakarta Selatan.
Baca Juga: Lawan Polusi, Kenali Beragam Pilihan Masker
Pemangku kebijakan untungnya tak tinggal diam, Pemprov DKI Jakarta mencanangkan Bulan Patuh Trotoar sebagai cara untuk mengembalikan fungsi trotoar bagi pejalan kaki. Selain itu, upaya revitalisasi trotoar terus digalakkan. Pemprov DKI Jakarta menargetkan pembangunan trotoar sepanjang 2.600 km untuk seluruh wilayah kota administrasi dan Kabupaten Kepulauan Seribu. Jakarta akan membangun trotoar yang ideal, lengkap dengan boks utilitas berukuran 1,2 meter x 1,8 meter dengan kedalaman 2,3 meter.
Dari total 2.600 kilometer jalan di Jakarta, dan baru 2,6 persen trotoar yang diperbaiki pada 2016. Untuk itu, Dinas Bina Marga DKI Jakarta menyiapkan anggaran sebesar Rp412 miliar pada 2017 untuk menyelesaikan perbaikan tersebut. Pemprov DKI juga akan menggunakan dana Koefisien Lantai Bangunan (KLB) selain dana APBD untuk mewujudkan trotoar yang nyaman bagi warga Jakarta.
Lepas dari itu, penegakan hukum (law enforcement) juga harus diterapkan dengan tegas untuk menjaga penggunaan trotoar. Aksi tilang langsung oleh Polisi untuk pengendara motor yang nekad melintasi trotoar harus diapresiasi dan didukung penuh, sembari menjadi pekerjaan rumah bagi Pemprov untuk melakukan upaya perbaikan pada ribuan kilometer trotoar di DKI Jakarta.