Kondisi landas pacu di Bandara Internasional Kansai, Jepang yang basah kuyup memaksa sebagian penumpang untuk menunda keberangkatan mereka hingga waktu yang belum ditentukan beberapa waktu yang lalu. Tentu saja, ini menjadi perhatian sebagian kalangan mengingat perubahan iklim yang dapat berdampak buruk bagi dunia aviasi global – terutama bagi bandara yang ‘bersandar’ dekat dengan garis pantai. Kendati berbahaya dari segi geografisnya, namun apakah bandara-bandara tersebut dapat bertahan dari terpaan bencana alam?
Baca Juga: Bandara Luxembourg Siap Adopsi Sistem Keamanan Baru nan Canggih
Mundur sedikit ke bulan September 2018, dimana Topan Jebi meluluh-lantakkan infrastruktur yang ada di Negeri Sakura dan setidaknya menewaskan 10 orang. Tentu saja ini menjadi malapetaka bagi Bandara Internasional Kansai, dimana bandara ini digadang-gadang sebagai pusat penerbangan internasional yang terletak di sebuah pulau buatan manusia di Teluk Osaka.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Eurocontrol pada tahun 2008 silam mengindentifikasi bahwa sekiranya ada 34 bandara yang dapat terkena dampak negatif dari kenaikan permukaan air laut tadi. Ditambah lagi dengan survei yang dilakukan oleh US National Climate Assessment, dimana mereka menyebutkan bahwa sekiranya ada 13 bandara di Amerika yang memiliki landas pacu yang rentan terhadap gelombang sedang hingga tinggi.
Lalu dengan adanya dua survei di atas sebagai contoh, dan puluhan survei lain terkait dengan letak geografis bandara, mengapa kebanyakan bandara berada di pesisir laut? Dirangkum KabarPenumpang.com dari laman airport-technology.com, jawaban untuk pertanyaan di atas sangatlah sederhana – karena pada dasarnya bandara harus berdiri di lahan luas, dan pesawat dapat lepas landas tanpa harus menabrak bangunan atau tebing pegunungan yang berada di depannya. Pertimbangan lain, kemungkinan pendaratan darurat dapat dilakukan di atas permukaan air.
Pengurukan lahan guna membangun bandara tentu saja akan menurunkan tingkat ketinggian dari lahan tersebut dan semakin mendekati ketinggian dari garis laut – sebut saja Bandara Internasional Kansai yang berada di ketinggian 3,4 meter di atas permukaan laut. Lebih ekstrem lagi, Bandara Internasional Schipol di Amsterdam, Belanda, yang berada di ketinggian 3 meter di bawah permukaan laut. Menurut US National Oceanic and Atmospheric Administration, permukaan laut global rata-rata naik 2,6 inci antara tahun 1993 dan 2014 dan angka tersebut terus mengalami kenaikan sekitar seperdelapan inci per tahun.
Dengan demikian, apakah bandara dapat menjamin para penumpangnya agar tetap mengudara dengan jadwal yang sudah ditentukan sebelumnya kendati bencana alam tengah menerjang? Jika mengandalkan sistem drainase saja, maka langkah ini tidak dapat menjamin landas pacu atau perangkat di tarmak lainnya dapat aman dari ancaman banjir atau bencana alam yang berkaitan dengan air lainnya.
Baca Juga: Bandara Tribhuvan Kathmandu, Salah Satu Bandara Terburuk di Dunia
Namun jika dibarengi dengan pembangunan tanggul, gerbang pasang surut, kolam penahanan dan stasiun pompa untuk mengelola volume besar banjir diperkirakan dapat meminimalisir sebuah bandara terdampak bencana alam dan perubahan iklim yang ekstrem. Kendati sebagian kota di dunia sudah berhasil merelokasi bandara mereka ke daerah yang lebih aman, namun menilik nominal yang dikeluarkan, rasanya hampir mustahil untuk melakukan hal tesebut – alih-alih dana dengan nominal serupa digunakan untuk meningkatkan fasilitas bandara terkait.