Terkenal sebagai kota yang sarat akan perguruan tingginya membuat sebuah kota kecil di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat bernama Jatinangor ini seolah menjadi kota idaman setiap muda-mudi yang hendak melanjutkan pendidikannya ke bangku perkuliahan. Walaupun hanya ada satu main road di kota yang terletak di sebelah timur Bandung ini, tapi siapa sangka kehadiran beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia telah mengubah takdirnya, yang semula hanyalah sebuah kota kecil yang menjadi penghubung antara Bandung – Sumedang, kini telah berevolusi menjadi kota yang ramai oleh anak kuliahan.
Baca Juga: Glenfinnan Viaduct! Jembatan Harry Potter Yang Pernah Selamatkan Keluarga Kecil
Nah, bagi Anda yang pernah mengenyam masa pendidikan di Jatinangor, tentu sudah tidak asing lagi dengan salah satu jembatan peninggalan Belanda yang kerap diidentikkan dengan cerita mistis. Ya, Jembatan Cincin. Sebenarnya, apa sejarah yang menyelimuti jembatan yang berdiri di atas lahan persawahan warga ini? Lalu apa yang membuat para mahasiswa atau warga enggan melintasi jembatan ini ketika hari mulai gelap?
Sebagaimana yang dilansir KabarPenumpang.com dari berbagai laman sumber, jembatan ini dibangun oleh perusahaan kereta api milik Belanda, Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf pada tahun 1917 silam. Tujuannya sederhana, yaitu untuk menghubungkan daerah Rancaekek dan Tanjungsari, sedangkan keretanya sendiri menunjang kelancaran akomodasi warga dan hasil komoditas utama di sana yaitu karet.
Pada awalnya, Staat Spoorwagen Verenidge Spoorwegbedrijf hanya akan membangun jalur kereta yang menghubungkan Rancaekek – Jatinangor saja yang panjangnya kurang lebih 5,25 km untuk keperluan mengangkut hasil perkebunan. Namun, pihak militer Belanda kala itu meminta agar pembangunan jalur kereta juga diperuntukkan bagi para warga. Alhasil, diperpanjanglah rencana pembangunannya hingga ke Tanjungsari dan Citali sepanjang 11,5km.
Keterbatasan dana akhirnya memaksa para penguasa kala itu untuk kembali merubah rencananya dan mengurungkan niat mereka membangun jalur kereta hingga daerah Citali. Akhirnya, jalur Rancaekek – Jatinangor – Tanjung Sari resmi beroperasi pada tahun 1921 dan digunakan untuk mengangkut teh dan hasil bumi dari daerah Sumedang Barat. Adapun stasiun yang menunjang pengoperasian di jalur ini antara lain Stasiun Rancaekek, Halte Bojongloa, Halte Jatinangor, Halte Cileles, dan Stasiun Tanjungsari.
Lain Belanda, lain pula Jepang. Nippon yang mulai menduduki Bumi Pertiwi sejak 1942 hingga 1945 membawa dampak besar pada kehidupan Pribumi, tidak terkecuali Jembatan Cincin. Rel kereta di jembatan ini dibongkar dan dipindahkan ke Banten untuk pembangunan jalur kereta Saketi-Bayah yang desas-desusnya kaya akan batu bara. Tak ayal, hanya pondasi jembatan kereta tanpa rel yang tersisa hingga kini.
Kerasnya sistem Kerja Rodi yang diterapkan Belanda ketika membangun jembatan yang memiliki 11 tiang dan 10 lekukan seperti cincin ini tak ayal banyak menelan korban jiwa. Maka tidak heran jika Jembatan Cincin kerap dihubungkan dengan hal-hal berbau mistis. Lokasi pemakaman yang berada tepat di bawah jembatan pun makin memperkuat Urban Legend yang sebelumnya sudah beredar di kalangan warga yang tinggal di sekitar.
Baca Juga: Cikubang, Jembatan Kereta Terpanjang di Indonesia
Hanyalah memori kelam, cerita soal masa kejayaan, dan hal-hal berbau magis yang kini bersemayam menyelimuti jembatan yang fisiknya sudah mulai tergerus usia ini. Padahal, pemandangan yang disuguhkan dari atas jembatan ini sangatlah indah, mulai dari komplek Universitas Padjadjaran, Gunung Manglayang, Gunung Geulis, hingga jalur Bandung – Sumedang yang meliuk-liuk. Perawatan menyeluruh terhadap jembatan ini diyakini dapat menampik semua pemberitaan negatif di Jembatan Cincin. Sebagai bangunan yang memiliki andil besar pada masanya, alangkah bijaksananya jika kita semua turut melestarikan salah satu situs peninggalan bersejarah ini.
Jika Anda yang belum tahu dan ingin melihat langsung penampakan Jembatan Cincin dari dekat, silakan menyempatkan diri untuk mampir ke Jatinangor. Akses menuju lokasi bisa dibilang cukup mudah dan bervariasi. Anda bisa menjangkaunya melalui daerah Cisaladah, Cikuda, Gang Mawar, atau melalui jalan tembus yang dibuat warga di dalam komplek Universitas Padjadjaran. Bagaimana, apa Anda tertarik untuk mendatanginya?