Bagi Anda yang menggantungkan mobilitas sehari-hari dengan menggunakan Commuter Line Jabodetabek, mungkin sudah tidak asing dengan salah satu stasiun yang berada di perbatasan Kelurahan Ancol (Jakarta Utara) dan Kelurahan Mangga Dua Selatan (Jakarta Pusat) ini. Stasiun yang dicanangkan akan menjadi depo MRT kedua setelah Lebak Bulus ini juga merupakan satu-satunya stasiun di Indonesia yang mengaplikasikan split platform (peron bertingkat). Ya, Stasiun Kampung Bandan.
Baca Juga: Sering Naik Kereta? Kini Saatnya Anda Mengenal Jenis dan Karakter Peron di Stasiun
Stasiun yang berada di Daerah Operasi I Jakarta ini berkali-kali diterjang banjir hingga terpaksa dihentikan sementara pengoperasiannya, antara lain pada bulan Januari 2005, Desember 2007, Januari 2008, dan Januari 2009. Problematika seperti ini tidak lepas dari sistem drainase di Jakarta sendiri yang buruk, ditambah lagi kebiasaan setiap individu di sekitar stasiun yang kerap kali tidak mengindahkan peringatan dilarang membuang sembarangan. Terlihat jelas bukan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar?
Dahulu, pintu masuk Stasiun Kampung Bandan terletak di sebelah utara menuju Ancol, namun sejak perkembangan sisi selatan (seputaran Mangga Dua, Harco, dll) begitu pesat, pintu utara tidak pernah dipakai lagi, cenderung terbengkalai. Lingkungan di sekitar stasiun pun bisa dibilang kumuh, terlihat dari banyaknya rumah semi permanen di sepanjang rel kereta api. Jika sudah seperti ini, maka urusan kesehatan seolah dinomor-duakan.
Terlepas dari masalah sosial yang berkembang di sekitaran stasiun ini, penamaan daerah Kampung Bandan sendiri bisa dibilang unik. Ada banyak literatur yang menyebutkan asal mula nama Kampung Bandan, dengan versinya masing-masing. Literatur pertama menyebutkan bahwa nama daerah ini diambil dari sekelompok masyarakat Banda yang pada jaman penjajahan Belanda menduduki tempat ini.
Tulisan lain menyebutkan bahwa nama Kampung Bandan diambil dari penjajah Jepang yang sering melintasi daerah tersebut sambil membawa para pemberontak dengan tangan dibanda (Bahasa Jawa: Diikat), sebelum akhirnya para pemberontak ini dieksekusi di daerah Ancol. Satu lagi spekulasi yang melatarbelakangi penamaan Kampung Bandan adalah banyaknya tumbuhan Pandan yang tumbuh di daerah ini dulu.
Terlepas dari semua spekulasi tersebut, catatan sejarah menyebutkan bahwa kampung ini merupakan penampungan para budak dari Pulau Banda, Maluku, ketika Meneer Belanda, JP Coen menaklukkan Batavia pada tahun 1621. Mereka yang selamat dari pembantaian JP Coen diboyong ke Batavia dan melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap VOC di daerah Marunda.
Baca Juga: Lori, Si Kereta Tebu Yang Kini Sudah Beralih Fungsi
Setelah periode perbudakan usai, tawanan tadi dipekerjakan di Pasar Ikan. Mereka mendiami suatu kampung yang berdekatan dengan Pelabuhan Sunda Kelapa, dan beranak pinak di sana. Di kawasan itu akhirnya dibangun pula jalur kereta api, yaitu ketika Pelabuhan Tanjung Priok dibangun. Jalur kereta api itu untuk menghubungkan Pelabuhan Sunda Kelapa dan Pelabuhan Tanjung Priok. Stasiun Kampung Bandan, saksi bisu dari cerita kelam jaman penjajahan di Batavia.
Kini, Kampung Bandan erat kaitannya dengan keberadaan para waria. Tinggal di pinggiran kota Jakarta demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah bukanlah perkara mudah bagi mereka. Keterbatasan memaksa mereka hidup seperti ini. Tidak hanya waria, Kampung Bandan juga terkenal dengan penggunaan lori yang disulap menjadi transportasi jarak dekat bagi para warga.