Masih ingat film Tragedi Bintaro (1989)? Film ini mengisahkan kesedihan anak kecil bernama Juned yang harus kehilangan satu kaki, nenek dan saudara-saudaranya karena menjadi korban tabrakan antar dua kereta di daerah Bintaro pada 19 Oktober 1987. Kecelakaan kereta api Bintaro pada 1987 tersebut dikenal dengan Tragedi Bintaro I dan menjadi yang paling tragis dan terburuk di Indonesia.
Baca juga: Hari ini, 52 Tahun Lalu, Kecelakaan Kereta di Ratu Jaya Depok Tewaskan 116 Penumpang
Di mana dua kereta api terlibat kecelakaan di daerah Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan. KabarPenumpang.com merangkum berbagai laman sumber, dalam kecelakaan ini, rangkaian kereta api Patas Merak relasi Tahan Abang ke Merak yang berangkat dari Stasiun Kebayoran (KA 220) bertabrakan dengan kereta api lokal Rangkas relasi Rangkasbitung ke Jakarta Kota (KA 225) yang berangkat dari Stasiun Sudimara.
Dalam kecelakaan kereta ini, sebanyak 139 tewas dan 254 orang lainnya luka berat. Setelah kecelakaan tersebut, proses evakuasinya penumpang kereta api menjadi tantangan mengingat kerasnya tabrakan head-to-head. Kemudian tragedi ini akhirnya diselidiki dan menunjukkan adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran.
Hal ini dilakukan karena tidak ada jalur yang kosong di Stasiun Sudimara. Berdasarkan keterangan resmi dari Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), lokasi kecelakaan berada pada km 17+252 lintas Angke–Tanahabang–Rangkasbitung–Merak. Lokasi tersebut berada pada tikungan S yang diapit Jalan Tol Jakarta–Serpong di barat dan Jalan Tol TB Simatupang di timurnya. Lokasi ini juga terletak sekitar 1,5 km di sebelah barat daya TPU Tanah Kusir.
Adapun saat itu KA 225 berjalan dengan kecepatan 30 kilometer per jam. Tak hanya kelalaian, banyaknya korban yang jatuh saat itu juga disebabkan kondisi gerbong kereta yang dipenuhi penumpang. Apalagi tenyata KA 225 dipenuhi penumpang dan di luar kapasitasnya.
Pada setiap gerbong, tersedia 64 kursi rotan dan saat itu dipenuhi oleh para penumpang. Namun, kapasitas yang disediakan tak cukup untuk menampung banyaknya orang yang ingin menempuh perjalanan yang sama. Akhirnya, atap gerbong dan ruang kosong di kiri-kanan lokomotif pun juga dijejali penumpang sebagai tempat tangkringan sementara.
Lokasi kecelakaan yang berada di tikungan juga membuat kedua masinis tidak dapat saling melihat. Ketika menyadari ada kereta lain di jalur yang sama, sudah terlambat bagi masinis untuk menghentikan laju kereta karena jarak antara keduanya sudah terlalu dekat. Selain itu, pihak petugas palang pintu kereta juga tak mengetahui simbol genta yang menyebabkan kedua kereta itu berhadapan di rel yang sama.
Baca juga: Darman Prasetyo – Masinis Muda Heroik di Tragedi Bintaro 2 Yang Terlupakan
Selain korban jiwa, masinis dua kereta tersebut yakni Suradio divonis hukuman lima tahun penjara dan kehilangan pekerjaanya sebagai masinis pada 1994. Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Syafei harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun. Sedangkan PPKA Djamhari dan Umrihadi dihukum 10 bulan penjara