Menggunakan kereta api lewat jalur selatan Jawa Barat sudah pasti merasakan sensasi yang berbeda. Mulai dari melihat pemandangan yang indah sampai melewati bangunan cagar budaya kereta api yang masih aktif digunakan. Nah, bicara soal stasiun kereta api di wilayah Daerah Operasi (Daop) 2 Bandung ternyata ada beberapa stasiun yang berdiri sejak era kolonial Belanda pernah mengganti namanya. Tak hanya manusia yang bisa mengganti nama, alasan stasiun mengganti nama tersebut salah satunya sebagai tolak bala. Berikut nama-nama stasiun yang kabarpenumpang rangkum.

1. Halte Gandamirah (Karangsari)
Stasiun ini awalnya merupakan perhentian kecil bernama Kiarabaok, terletak di kilometer 207+650 atau sekitar 180 meter di selatan letak stasiun saat ini. Dilansir dari iklan yang dimuat di surat kabar de Preangerbode pada 17 Mei 1899, Perhentian Kiarabaok dibuka pada 5 Juni 1899.
Pembukaan ini didasarkan pada keinginan warga Desa Kiarabaok (sekarang Karangsari) dan Dungusitu yang menginginkan dibukanya stasiun antara Stasiun Leles dan Leuwigoong. Setidaknya pada tahun 1935, telah tercatat sebuah perhentian bernama Gandamirah yang dibuka di antara Leles dan Leuwigoong. Perhentian tersebut naik status menjadi stasiun dan berganti nama pada tahun 1980-an.
Kini Stasiun Karangsari merupakan stasiun kereta api kelas III yang terletak di Karangsari, Leuwigoong, Garut. Kelebihan dari stasiun ini memiliki keindahan panorama hamparan sawah yang sangat luas.
2. Stasiun Bendul (Sukatani)
Stasiun Sukatani merupakan stasiun kereta api kelas III yang terletak di Sukatani, Sukatani, Purwakarta. tepatnya tak jauh dari Jalan Raya Plered-Purwakarta. Stasiun yang terletak pada ketinggian +226 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi II Bandung. Perubahan nama Stasiun Sukatani sebelumnya adalah Halte Bendul. Diubahnya nama tersebut ternyata tetjadi insiden saat masih berstatus halte.
Melansir dari laman Roda Sayap, insiden terjadi pada Kamis malam tepatnya tanggal 11 April 1968 pukul 22.15 WIB, sebuah lokomotif seri CC5002 yang sedang berhenti di jalur 2 Halte Bendul tiba-tiba meledak. Kejadian tak diduga tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa termasuk masinis dan kru lainnya yang berada dilokasi tersebut. Ledakan kuat yang terdengar hingga radius 50 kilometer dari lokasi tersebut mengakibatkan hancurnya bangunan stasiun dan terlemparnya boiler hingga ke udara. Kejadian saat sebelum ledakan terjadi akibat kegagalan sistem savety valve atau akibat adanya sumbatan pada sistem perpipaan boiler.
Pasca insiden terjadi dan bangunan yang hancur tersebut kemudian dibangun kembali. Sisa bangunan yang tersisa akhirnya dirobohkan dan bangunan yang baru didirikan. Nama “Bendul” kemudian diganti menjadi “Sukatani” yang sampai saat ini menjadi nama stasiun aktif hingga kini dilewati kereta dari Jakarta ke Bandung maupun sebaliknya.
3. Stasiun Malangbong (Bumiwaluya)
Stasiun Bumiwaluya terletak di Desa Citeras, Malangbong ini merupakan stasiun kereta api kecil atau stasiun kelas III ini berada di ketinggai +641 meter diatas permukaan laut. Dahulu, stasiun ini dikenal dengan sebutan Stasiun Malangbong karena berada di Kecamatan Malangbong.
Awalnya dijalankan 3 KA yang menggunakan 60 gerbong angkutan pasir galunggung yang termasuk salah satu KA barang yang memiliki volume yang besar yakni gerbong berkapasitas 9 meter kubik. Rangkaian KA Pasir Galunggung ini biasanya ditarik oleh 2 unit lokomotif CC 201 dalam posisi double traksi. Namun, ada hal berbeda saat itu, karena posisi lokomotif bagian depan menarik dan ada di bagian belakang untuk mendorong.
Formasi ini digunakan antara Stasiun Pirusa hingga Kiaracondong/Padalarang, kemudian rangkaian dipecah menjadi 2 rangkaian. Memasuki tahun 1987, insiden pun terjadi yakni satu rangkaian isian pasir Galunggung yang ditarik lokomotif seri CC 201 17 terguling di Stasiun Malangbong. Lokomotif dan rangkaian terguling yang mengakibatkan ringsek dan rusak parah. Akibat insiden tersebut, nama Malangbong diganti menjadi Bumiwaluya.
4. Stasiun Trowek (Cirahayu)
Stasiun ini berlokasi 500 meter di sebelah barat laut Jembatan Trowek yang menjadi lokasi anjlokan kereta api gabungan Galuh dan Kahuripan pada 24 Oktober 1995. Panorama stasiun ini dikelilingi gunung. Akses stasiun ini cukup sukar karena berjarak 3 km dari Jalan Raya Tasikmalaya, serta harus mendaki bukit-bukit curam.
Nama stasiun ini dahulunya adalah Trowek (TWK) dan berstatus sebagai halte (stasiun kecil) sejak awal dibukanya. Halte tersebut dibuka pada 15 Oktober 1907 dan awalnya digunakan untuk melayani penumpang dan barang komoditas.
Insiden yang harus mengganti nama dari Trowek menjadi Cirahayu ini adalah tanggal 30 April 1964, pukul 20.00, KA 40 tiba-tiba meluncur ke belakang tanpa kendali saat hendak menanjak dari Stasiun Cipeundeuy menuju Stasiun Ciawi. Saat itu, kereta api berhenti di muka sinyal masuk Trowek, tetapi kereta akhirnya meluncur ke belakang dari km 241+4/5 hingga terguling di km 238+9/0 pada lereng penentu 20‰ sehingga menyebabkan 24 tewas (termasuk 8 pegawai PNKA) dan 75 luka parah.
Kejadian terakhir yang tak jauh dari Stasiun Cirahayu adalah pada 4 April 2014, kereta api Malabar jurusan Bandung–Malang dengan lokomotif penariknya saat itu adalah CC206 13 55 asuhan depo lokomotif Bandung mengalami kecelakaan pada lintasan antara Stasiun Cirahayu dan Stasiun Ciawi.
Kecelakaan terjadi karena tanah penyangga rel mengalami longsor. Karena beratnya medan, evakuasi lokomotif dan dua kereta eksekutif sempat terhambat. Akibat dari kejadian tersebut, Stasiun Cirahayu dijadikan sebagai tempat pengafkiran kereta penumpang yang rusak.