Jejak sejarah perkeretaapian tak hanya membuat kagum yang mempelajarinya, namun sangat digemari apalagi sampai ditelusuri. Seperti halnya bekas jalur kereta api yang terkadang sudah hampir terlupakan bahkan sama sekali tidak terlihat aset-aset perkeretaapian yang tertinggal. Bahkan hanya sebuah nama saja, sudah bisa dipahami bahwa dahulu sempat ada jalur kereta api.
Layaknya jalur kereta api yang ada di daerah Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dari sekilas namanya tentu masyarakat khususnya yang tinggal di Kabupaten Bandung sudah mengetahui letaknya kawasan tersebut. Majalaya juga memiliki pasar tradisional yang digadang-gadang ternyata dekat sekali dengan bekas jalur kereta api. Kok bisa?
Ya, pasar tradisional di Majalaya ternyata memiliki nama jalan yang unik yakni Jalan Stasiun. Jalan ini merupakan satu-satunya pengingat bagi generasi masa kini sekaligus menjadi petunjuk bahwa pernah ada stasiun kereta api di Majalaya. Keberadaan stasiun ini sedikit demi sedikit terlupakan, setelah Jepang menguasai. Mereka membongkar jalur kereta api yang berasal dari Stasiun Dayeuhkolot tersebut, sampai tidak bersisa.
Dikutip dari laman Bandung Sejarah menjelaskan bahwa di tahun 1920, perusahaan kereta api negara Staatsspoorwegen (SS) memulai pengerjaan jalur yang menghubungkan Stasiun Dayeuhkolot (dahulu disebut Citeureup) dan Stasiun Majalaya.
Stasiun Dayeuhkolot dibangun sebagai bagian dari pengerjaan jalur Bandung-Soreang yang dimulai tahun 1917 dan selesai tahun 1921. Dari Stasiun Dayeuhkolot, SS mengambil percabangan ke arah timur, di lokasi setelah jembatan kereta api Citarum. Jalur sepanjang 17 km ini melewati Jelekong, Cangkring, Ciheulang, dan Ciparay.
Usulan untuk membangun jalur kereta api ke Majalaya telah muncul sejak 1882. F. L. Isasca mengajukan rencana membangun jalur dari Bandung ke Kopo (Soreang) dengan percabangan menuju Majalaya di Bojongsari.
Begitu pula dengan G. G. Kan yang ingin menghubungkan Bandung dengan Majalaya dan Cicalengka melalui Dayeuhkolot. Rencana ini kemudian diteruskan oleh R. A. Eekhout serta W. J. P. den Bosch – P. Landberg pada tahun 1893 dan 1898.
Saat itu, pemerintah melihat kawasan Majalaya dan Ciparay sebagai daerah yang makmur dan menyimpan potensi ekonomi yang besar. Selain memiliki pasar yang cukup penting, terdapat pusat-pusat pertanian yang terletak di kawasan sebelah timur Sungai Citarum.
Menurut sejarawan Agus Mulyana, banyaknya penduduk di distrik Ciparay dan onderdistrik Majalaya turut menjadi alasan pembangunan jalur ini. Di Ciparay, kereta api akan diandalkan untuk mengangkut barang dari perkebunan-perkebunan di dataran tinggi sekitar dan bagian timur Pangalengan.
Tidak ada upacara besar yang digelar saat peresmian jalur kereta api Dayeuhkolot–Majalaya, pada 3 Maret 1922. Hanya upacara slametan yang digelar beberapa hari sebelumnya oleh para staf konstruksi.
Setelah pembukaan, jalur ini melayani 10 perjalanan kereta api yang hasilnya memuaskan dan memenuhi target pendapatan yang diinginkan. Pada perkembangannya, jalur ini dilayani 12 perjalanan kereta api di tahun 1926, dengan melewati melewati 5 stasiun, yakni Manggahang, Jelekong, Ciheulang, Ciparay, dan Cibungur.
Sempat menjadi tulang punggung transportasi di Bandung selatan, jalur kereta api Dayeuhkolot akhirnya harus menyerah kepada zaman. Perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang menjadi penyebabnya. Jalur ini kemudian dibongkar sampai tidak bersisa.
Meskipun ada wacana untuk menghidupkan kembali Stasiun Majalaya dengan menghubungkannya ke Cicalengka di masa pendudukan Jepang, stasiun ini akhirnya tidak pernah tersambung kembali ke jaringan rel. Perlahan, bangunan stasiun pun raib, dilupakan, dan tinggal menyisakan nama jalan.
Kisah Stasiun Majalaya bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan bagian dari sejarah sosial dan ekonomi wilayah Bandung selatan. Ia menjadi saksi bisu betapa pentingnya konektivitas dalam membangun wilayah. Dan meskipun kini hanya tersisa nama di atas papan jalan, Majalaya pernah menjadi akhir dari sebuah perjalanan kereta yang penuh harapan.
