Airbus A380 merupakan pesawat komersial terbesar di dunia. Ukurannya melebihi pesawat biasanya membuat pesawat superjumbo itu tidak bisa mendarat di semua bandara. Hanya bandara tertentu saja. Menariknya, dalam keadaan darurat dan di saat yang bersamaan bandara terdekat tak ada yang penuhi standar pelayanan A380, bagaimana cara pilot menyikapinya?
Baca juga: Kenapa Pesawat Airbus A380 Tidak Pernah Mendarat di Indonesia?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu diketahui terdapat beberapa persyaratan dasar bandara agar Airbus A380 dapat mendarat. Persyaratan yang paling krusial adalah kekuatan runway (landasan pacu) dan taxiway dalam menahan tekanan dari landing gear pesawat serta panjang runway.
Di dunia, ukuran runway berbeda-beda tergantung kebutuhan. ICAO sendiri sudah mengatur dan mengklasifikasikan runway dalam empat golongan atau kode (code).
Code number 1 panjang landasan pacu kurang dari 800 meter. Code number 2, panjang landasan pacu antara 800 meter sampai 1.200 meter. Code number 3, panjang landasan pacu mulai dari 1.200 meter sampai 1.800 meter.
Code number 4, panjang landasan pacu mulai dari 1.800 meter sampai 1.900 meter. Terakhir, runway dengan kode nomor 6 memiliki panjang landasan pacu mulai dari 1.900 atau lebih hingga 4.200 meter.
Seperti panjangan runway, tingkat kekuatan runway juga sebetulnya sudah diatur dan terdapat beberapa klasifikasi. Namun, tetap saja, ketebalan dan lapisan atasnya berbeda-beda. Ada yang menggunakan betol dan lainnya aspal. Secara teori, beton lebih kuat sebagai permukaan runway dibanding aspal.
Baca juga: Bandara Auckland Kebanjiran, Airbus A380 Emirates Terbang 13 Jam dari Dubai ke Dubai
Menurut mantan Director of Safety Air Transport Association, Tom Farrier, dalam kondisi darurat, sedikitnya ada tiga isu yang paling utama agar A380 bisa mendarat di bandara terdekat dan lepas landas setelahnya. Pertama adalah landing dengan aman. Kedua, penumpang turun dengan aman. Ketiga, pesawat dapat lepas landas dan melanjutkan penerbangan.
Dalam kondisi kosong tanpa penumpang dan kargo, A380 memiliki berat 500 ribu pound dan membutuhkan panjang landasan sejauh 1.600 meter. Dalam kondisi dipenuhi penumpang dan kargo serta bahan bakar, beratnya bertambah jadi 800 ribu pound lebih.
Dengan asumsi landing elevation 4.000 kaki, diperlukan tambahan panjang landasan sejauh 1.100 kaki atau 350 meter lagi menjadi 1.950 meter. Kekuatan runway pun tinggal disesuaikan saja dengan bobot pesawat.
Kita tahu, sebelum terbang, pilot-kopilot bertemu dan membahas berbagai hal, salah satunya rute penerbangan; termasuk bandara terdekat, dalam hal ini yang bisa melayani pendaratan Airbus A380.
Karenanya, dalam kondisi darurat, tak ada pilihan lain bagi pilot A380 kecuali mengarahkan pesawat ke bandara terdekat sesuai klasifikasi. Jaraknya pun biasanya tak terlalu jauh dari rute yang dilewati pesawat.
Andai benar-benar terpaksa segera di bandara terdekat dan tidak sesuai spesifikasi (sekalipun ini kecil kemungkinan terjadi), pilot biasanya akan membuang bahan bakar sebanyak mungkin untuk mengurangi bobot pesawat.
Baca juga: Aneh, Emirates Beli Airbus A380 Rp470 Miliar Saat Maskapai Lain Pensiunkan
Begitu dirasa bobot sudah sangat minimum, pesawat dapat mendarat dengan penuh hati-hati. Bila tidak ada garbarata dua tingkat, operator tetap bisa menggunakan garbarata biasa. Pesawat mungkin akan terkendala dengan suplai avtur. Tetapi itu bisa disuplai dari bandara lain terdekat. Tugas paling berat adalah menerbangkan kembali pesawat. Apalagi di runway yang sangat terbatas.
Dalam kondisi itu, pesawat harus diterbangkan oleh pilot khusus yang sangat ahli menerbangkan A380 agar bisa keluar dari bandara tersebut. Sebelum itu, bila perlu beberapa area taxiway dan runway harus dilakukan penguatan agar ban pesawat tak amblas.