Ia bukanlah seorang pahlawan di jaman penjajahan dulu atau seorang penemu yang mempengaruhi dunia transportasi dewasa ini, tapi namanya baru-baru ini dicantumkan di Balai Pelatihan Teknik Traksi (BPTT) Yogyakarta. Ya, dia adalah Darman Prasetyo. Lantas, bagaimana bisa namanya diabadikan sebagai nama Sekolah Teknik terkemuka di Yogyakarta ini?
Baca Juga: Human Error Duduki Peringkat Teratas Penyebab Kecelakaan Kereta
Sebelum membahasnya lebih jauh, BPPT Darman Prasetyo merupakan salah satu tempat pendidikan yang dikhususkan untuk calon masinis lokomotif dan Kereta Rel Diesel (KRD). Para calon masinis akan menerima ilmu terkait pengendalian ular besi terlebih dahulu di sini selama kurun waktu tertentu. Baru setelah mereka dinyatakan siap untuk bertugas, mereka akan dikirim langsung ke lapangan untuk mengemudikan lokomotif.

Kembali ke topik pembahasan awal, Darman Prasetyo merupakan masinis KRL Jabodetabek jurusan Serpong-Tanah Abang yang menabrak truk tangki Pertamina pada Senin, 9 Desember 2013 silam. Darman yang ketika kejadian masih berumur 25 tahun tersebut menjadi salah satu dari tujuh korban tewas dalam tragedi tersebut, disusul oleh asisten masinis Agus Suroto, teknisi kereta Sofyan Hadi, dan empat penumpang lainnya.
Kejadian nahas ini bermula ketika KRL bernomor 1131 berangkat dari stasiun Serpong sekitar pukul 11.01, sedikit molor karena kereta tersebut sempat meperbaiki sistem AC yang tidak berfungsi dengan baik. Ketika kereta tengah melaju menuju stasiun Pondok Ranji, di situlah petaka ini bermula. Sebuah truk gandeng bermuatan 24 ribu kiloliter BBM melintasi palang pintu kereta yang terletak di Jalan Bintaro Permai 3, Jakarta Selatan. Diketahui, palang pintu tersebut tidak berfungsi.
Dilansir KabarPenumpang.com dari beberapa laman sumber, petugas penjaga pintu perlintasan kereta sempat mengibarkan bendera merah yang menandakan kereta harus segera berhenti karena statusnya tidak aman untuk melintas. Namun KRL yang dikendalikan oleh Darman tidak bisa mengerem mendadak dan tabrakan pun tak bisa dihindari.
Menurut penuturan salah satu saksi mata kejadian tersebut, ia sempat melihat seorang petugas kereta yang keluar dari ruang kendali dan mengabarkan kepada penumpang bahwa kereta akan menabrak. “Lima detik habis asisten masinis itu kasih tahu saya bakal ada tabrakan ‘hati-hati bu, mau tabrakan’, habis itu, terjadilah tabrakan,” kata saksi mata bernama Effendi tersebut, dilansir dari laman Liputan6.com.

Anehnya, setelah melakukan peringatan tersebut, sang asisten masinis kembali ke dalam ruang kendali dan seolah bersiap untuk menanti ajal yang akan segera merenggut nyawanya. Tragisnya, truk yang bermuatan penuh tersebut meledak sebanyak tiga kali, tidak lama setelah KRL 1131 menabraknya. Sontak, tidak hanya tragedi mengenaskan itu saja yang ramai diperbincangkan seantero Indonesia, melainkan aksi heroik dari Darman cs. dalam menghadapi situasi tersebut.
Direktur Utama PT KAI kala itu, Ignasius Jonan mengatakan keputusan yang diambil oleh Darman cs. menunjukkan tanggung jawab dan dedikasi yang sangat besar terhadap tugas. “Jarang sekali ada orang dengan hati sebesar dan semulia itu,” ungkap Jonan dikutip dari sumber terpisah.
10 hari berselang setelah kejadian tersebut, tepatnya 19 Desember 2013, PT KAI resmi mengabadikan nama Darman Prasetyo sebagai nama Balai Pelatihan Teknik Traksi Yogyakarta, menyusul kedua rekannya yang juga mendapat perlakuan sama.

Balai Pelatihan Teknik Perkeretaapian (BPTP) di Bekasi berubah menjadi BPTP Sofyan Hadi dan Balai Pelatihan Operasional dan Pemasaran (BP-Opsar) di Bandung berubah menjadi BP-Opsar Agus Suroto. Selain mengabadikan nama mereka sebagai balai pelatihan, sebuah prasasti juga dibangun di stasiun Tanah Abang untuk mengenang dedikasi mereka dalam bertugas.
Baca Juga: Antisipasi Kecelakaan di Jalur Kereta, Kemenhub Datangkan Kereta Derek
“Dia adalah pahlawan,” tutur Direktur Operasi PT KAI Herlianto usai upacara peresmian BPTT Darman Prasetyo, Kamis, 19 Desember 2013, dikutip dari laman tempo.co. Sebagai bentuk belasungkawa kepada keluarga korban yang ditinggalkan, PT KAI memberikan kesempatan bagi keluarga korban mendaftar menjadi pegawai perkeretaapian dengan jalur khusus, tanpa tes, tanpa batasan umur, dan sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. “Bisa anaknya, bisa istrinya, atau juga saudara,” ungkap Juru bicara PT KAI Daerah Operasi VI kala itu, Agus Komarudin.