Menggunakan Kereta Api (KA) Lokal yang beroperasi di Jawa Timur ini, tentu masyarakat sudah tak asing lagi dengan namanya. Melewari jalur kantong mulai dari Stasiun Surabaya Kota menuju Stasiun Kertosono kemudian melewati Stasiun Malang sampai dengan Stasiun Bangil dan berakhir kembali di Stasiun Surabaya Kota menjadikan KA Lokal ini paling andalan bagi masyarakat khususnya Kota Surabaya dan sekitarnya.
Ya, KA Lokal (saat ini sebagai KA Commuter) Penataran – Dhoho memang tak asing lagi ditelinga. Sejak dulu, KA ini sudah sangat digemari sebagai transportasi yang praktis dan murah. Apalagi saat itu pembelian tiket tidak bisa menentukan tempat duduk alias bebas tempat duduk tidak seperti saat ini. Tak heran, saat KA Penataran-Dhoho ini memasuki stasiun, penumpang pun berebut memasuki kereta mengharapkan masih adanya kursi yang kosong.
Nah, penamaan untuk KA Penataran-Dhoho ini ternyata ada dalam sejarah, lho. Kereta api ini memiliki dua nama dalam satu rangkaian, yaitu Penataran dan dahulu sempat memiliki tambahan nama menggunakan kata “Rapih” Dhoho. Kedua nama KA tersebut diambil dari nama candi yang ada di kota Blitar dan Kediri. Dahulu rangkaian ini akan berganti nama di Stasiun Blitar, dari Blitar menuju Gubeng via Kertosono akan menjadi Rapih Dhoho dan dari Blitar menuju Gubeng via Malang menjadi Penataran.

Pergantian di Stasiun Blitar tersebut karena penumpang wajib membeli tiket kembali jika ingin meneruskan perjalanannya menggunakan KA dengan rangkaian yang sama. Namun pada Grafik Perjalanan Kereta Api (Gapeka) 2025 ini untuk KA Penataran melintasi dari Stasiun Surabaya Kota, Stasiun Wonokromo, Stasiun Bangil, Stasiun Malang, Stasiun Blitar, Stasiun Kertosono, Stasiun Mojokerto, Stasiun Wonokromo, dan berakhir kembali di Stasiun Surabaya Kota. Untuk penamaan KA Dhoho perjalanan mengarah rute sebaliknya dari KA Penataran.
Sebagai tambahan bahwa nama penambahan Rapih pada KA Dhoho itu sendiri merupakan singkatan dari Rangkaian Terpisah. Yang mana dulunya rangkaian ini juga melayani rute dari kertosono menuju Madiun dengan ditarik lokomotif lain dari Kertosono. Namun karena terdapat kereta api KRD lokal dari Madiun menuju Gubeng, maka rangkaian gerbong via Madiun tidak lagi beroperasi.
Kemudian untuk nama Dhoho sendiri diambil dari sebuah nama kerajaan di Kediri, yaitu Dhaha atau Daha. Kota Daha sudah berdiri sebelum Kerajaan Kediri didirikan, yang kemudian menjadi ibu kota di zaman Kerajaan Kediri. Lokasi Kerajaan Kediri yaitu di tepi Sungai Brantas, daerah antara Kediri hingga Blitar. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api.
Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga pada tahun 1042. Mengulik sejarahnya, pada tahun 1513, Daha menjadi ibu kota Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Lalu untuk nama “Penataran” diambil dari nama candi peninggalan Raja Kertajaya (Srengga) dari Kerajaan Kediri yang terletak di Kabupaten Blitar.
Saat ini rangkaian KA Penataran-Dhoho berjumlah 7 kereta dalam 1 rangkaian dengan susunan di belakang lokomotif untuk kereta makan dan pembangkit atau KMP. Di belakangnya KMP adalah kereta satu sampai dengan kereta enam. Lokomotif untuk KA Penataran-Dhoho ini akan dilangsir setiap berada di Stasiun Kertosono. Dengan harga tiket mulai dari Rp10.000 hingga Rp30.000, masyarakat Jawa Timur akan menikmati sensasi perjalanan yang murah, praktis, efisien dan juga merasakan perjalanan yang bersejarah.
Mengenal Kereta Api Lokal yang Super Murah dan Wajib Kalian Tahu