Sudah tradisi. Ya, itulah kalimat yang memang sudah cocok untuk sebutan rangkaian kereta yang satu ini. Kereta yang rencana dikhususkan untuk masyarakat dengan aktivitas pedagang dan petani ini adalah terobosan baru dari PT Kereta Api Indonesia Persero (KAI) khususnya Balai Yasa Surabaya Gubeng.
Layanan Kereta khusus petani dan pedagang ini dihadirkan bukan hanya sebagai sarana transportasi hasil bumi, tetapi juga untuk melestarikan budaya kereta api yang menjadi denyut nadi ekonomi rakyat.
Kereta khusus ini dimodifikasi dengan mengurangi jumlah kursi dari 106 menjadi 73, pintu diperlebar, serta ruang tengah dibuat lebih lega untuk mengangkut hasil panen. Langkah tersebut merupakan wujud empati KAI terhadap tradisi pasar yang kini dikemas lebih modern.
Desainnya mengedepankan kemudahan akses dan ruang angkut lebih luas. Tempat duduk dipasang sejajar di sisi kiri dan kanan, sehingga ruang tengah lapang untuk hasil pertanian atau barang dagangan, sekaligus memudahkan pergerakan di dalam kereta.
Tapi tahukah kalian, bahwa tradisi kereta yang mengutamakan pedagang maupun petani memang sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. KAI sendiri berinovasi untuk kembali menghidupkan tradisi lama kereta pasar yang pernah hadir sejak masa kolonial hingga era PJKA itu.
Dilansir dari berbagai sumber artikel sejarah menjelaskan bahwa kereta ini biasanya mereka membawa hasil bumi seperti pisang, ketela, cabai, jagung, hingga sayur-mayur, serta makanan tradisional seperti nasi uduk, pisang rebus, tape, hingga berbagai aneka kue.

Misalnya pada aktivitas petani dan pedagang menggunakan kereta dari wilayah Banten menuju Jakarta yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Para petani biasanya berangkat pukul 04.00 WIB dari Stasiun Rangkasbitung, singgah di sejumlah stasiun lain, lalu turun di Pasar Tanah Abang atau melanjutkan perjalanan ke stasiun lain menggunakan KRL.
Selama ini, rute Rangkasbitung–Tanah Abang menjadi jalur utama mobilitas petani dan pedagang. Namun, keterbatasan muncul karena jalur tersebut juga digunakan penumpang KRL Commuter Line. Selama ini, barang dagangan yang sudah dipersiapkan sejak dini hari harus diangkut dalam waktu singkat saat kereta berhenti hanya sekitar dua menit. Bahkan, sebagian petani dan pedagang memilih menginap di stasiun sejak tengah malam agar tidak tertinggal kereta pertama.
Dengan adanya kereta ini berharap bisa menjadi instrumen penting untuk menekan urbanisasi dan menggerakkan ekonomi desa. Dan kedepannya, konsep serupa bisa diperluas ke jalur kereta lain yang dulunya memiliki layanan kereta lokal, seperti Purwakarta–Kota, Wonogiri–Purwosari, Rancaekek–Bandung, hingga Sukabumi–Kota. Tidak selalu berupa kereta khusus, tetapi juga bisa digandengkan dengan kereta penumpang di lintasan non-KRL.
Inovasi Baru, Ternyata Ini Alasan KAI Membuat Kereta Petani dan Pedagang