Meskipun bandara internasional sering digambarkan sebagai gerbang dunia yang tak pernah berhenti berdenyut, pada kenyataannya, banyak hub penerbangan terbesar di dunia terpaksa menutup sementara operasinya di malam hari. Keputusan ini, yang dikenal sebagai penerapan jam malam (curfew), didorong oleh konflik antara kebutuhan operasional maskapai dan hak masyarakat sekitar untuk mendapatkan lingkungan yang damai dan bebas polusi suara.
Di Eropa, Bandara Internasional Frankfurt (FRA) di Jerman menjadi salah satu contoh paling ekstrem dalam hal pembatasan operasional malam hari. Sebagai salah satu hub tersibuk di benua tersebut, Frankfurt dikenal memiliki larangan lepas landas dan pendaratan yang sangat ketat. Larangan ini umumnya berlaku antara pukul sebelas malam hingga pukul lima pagi.
Senyapnya Langit Dini Hari: Mengapa Bandara Internasional Jarang Beroperasi Penuh 24 Jam
Pembatasan ini adalah hasil dari litigasi dan tekanan komunitas yang panjang, menjadikan Frankfurt tolok ukur regulasi kebisingan di Eropa, dan memaksa maskapai merancang ulang jadwal penerbangan mereka agar tidak melanggar jendela sunyi ini.
Tidak jauh berbeda, London Heathrow (LHR), salah satu bandara tersibuk di dunia dan pintu gerbang utama Inggris, juga menerapkan jam malam yang ketat. Meskipun volume lalu lintas udara di LHR sangat padat sepanjang hari, mereka harus mematuhi aturan yang melarang sebagian besar pergerakan pesawat antara pukul 23:30 hingga 06:00. Aturan di Heathrow sangat ketat, bahkan menetapkan kuota khusus untuk pergerakan pesawat yang menghasilkan kebisingan rendah pada jam-jam transisi.
Sementara itu, di Pasifik, Bandara Sydney (SYD) di Australia menerapkan undang-undang jam malam yang mungkin termasuk yang paling ketat dan paling lama di dunia. Sydney diatur oleh undang-undang federal yang melarang pergerakan jet komersial besar antara pukul 23:00 hingga 06:00.
Mengenal Tower ATC Bandara Sydney, Salah Satu Tower ATC Paling Unik di Dunia
Undang-undang ini dibuat untuk melindungi penduduk kota dari kebisingan jet dan hanya mengizinkan sejumlah kecil pergerakan kargo khusus atau penerbangan kritis dengan slot yang dikontrol ketat. Hal ini mencerminkan komitmen kuat pemerintah Australia terhadap kualitas hidup warganya, meskipun konsekuensinya adalah hilangnya potensi pendapatan bandara pada jam-jam tersebut.
Bahkan di Asia, di mana bandara dikenal lebih fleksibel, pembatasan tetap ada. Bandara Internasional Narita (NRT) di Jepang, meskipun tidak sekeras jam malam di Sydney, memiliki batasan operasional yang umumnya mengakhiri penerbangan sekitar tengah malam. Pembatasan ini telah diperlonggar dari waktu ke waktu, tetapi tetap menunjukkan adanya kebutuhan untuk menyeimbangkan pertumbuhan lalu lintas dengan ketenangan bagi komunitas di sekitar bandara.
Bagaimana dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK) di Indonesia? Secara teknis, CGK tidak memiliki jam malam resmi yang melarang total penerbangan komersial, menjadikannya bandara yang beroperasi 24 jam. Namun, meskipun landasan pacu secara fisik terbuka, lalu lintas penerbangan komersial sangat minim antara pukul 01:00 hingga 04:00 dini hari.
Minimnya aktivitas ini bukan karena regulasi kebisingan yang ketat, melainkan lebih didorong oleh efisiensi operasional dan permintaan pasar. Maskapai cenderung menghindari slot penerbangan di waktu tersebut karena rendahnya jumlah penumpang domestik dan untuk meminimalkan biaya shift malam. Selain itu, pada jam-jam sepi ini, otoritas bandara sering menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan perawatan penting pada landasan pacu dan infrastruktur penting lainnya dengan gangguan minimal.
Secara kolektif, bandara-bandara ini membuktikan bahwa operasional 24 jam bukanlah norma universal. Keputusan untuk menutup sebagian atau seluruh operasi malam hari adalah hasil dari kompromi yang sulit antara kepentingan ekonomi global, tuntutan efisiensi, dan kesejahteraan lingkungan serta kesehatan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan landasan pacu.
Troli Canggih Kini Buat Operasional Bandara Hemat 100 Persen, Ini Rahasianya
