Tahun 1893 menjadi tahun bersejarah bagi masyarakat yang hidup di kawasan sepanjang Sungai Serayu. Di tahun itu, berdirilah sebuah perusahaan kereta api bernama SDS (Serajoedal Stoomtram Maatschappij).
Perusahaan itu membangun sebuah jalur kereta api di sepanjang lembah Sungai Serayu dari Wonosobo hingga Cilacap. Pada saat jalur Purwokerto-Wonosobo beroperasi, perusahaan yang paling berkepentingan terhadap jalur ini adalah perusahaan gula.
Selain mengangkut gula yang akan diekspor ke luar negeri melalui Pelabuhan Cilacap, kereta api-kereta api yang lewat jalur ini juga mengangkut perlengkapan pabrik yang didatangkan langsung dari luar negeri. Tak hanya itu, selain mengangkut hasil bumi yang disebutkan, dilansir dari laman Perpustakaan Nasional RI bahwa masyarakat yang tinggal dikawasan Banyumas juga memanfaatkan jalur tersebut dengan istilah tradisi “Plesiran”. Ini adalah satu tradisi yang sudah “mbalung sungsum” atau kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan.
Dahulu di Banyumas, hanya ada angkutan umum yaitu kereta api yang dikelola oleh perusahaan SDS tersebut, jadi plesiran masyarakat Banyumas hanya bisa dilakukan dengan kereta api. Jalur ini melayani rute dari Maos ke timur, Ke utara melalui Gambarsari (Kebasen), untuk selanjutnya memasuki kota Purwokerto dan berhenti di Stasiun Purwokerto sebelah timur, kemudian dikenal dengan nama Stasiun Timur tepat di tengah kota Purwokerto.
Dari stasiun Purwokerto perjalanan dilanjutkan ke Sokaraja-Purbalingga-Banjarnegara dan Wonosobo. Dengan angkutan ini masyarakat Banyumas dapat berwisata yang bisa dikunjungi sepanjang jalur SDS atau cukup sekadar “sepur-sepuran” (pulang – pergi) menggunakan kereta api.
Tempat-tempat wisata yang dikunjungi waktu itu antara lain Bendung Banjarcahyana yang dikenal dengan nama Jenggawur yang berlokasi di Kabupaten Banjarnegara. Bendung ini dibangun dengan kerja paksa di masa pendudukan Jepang. Terowongannya yang panjang bukan hanya dimanfaatkan untuk mengalihkan aliran Kali Serayu tetapi juga terowongan ini juga menembus aliran sungai lain. Jadi ada sungai mengalir dibawah sungai lain yang pembangunannya dilakukan oleh ratusan manusia secara paksa. Obyek lainnya yang cukup unik adalah wisata sungai, dengan mengunjungi area “siphon” yaitu mengalihkan arus sungai dengan saluran yang berbentuk huruf U.
Seiring dengan dibukanya jalur kereta api ke Wonosobo, kereta api itu juga mengangkut komoditas tembakau. Pada masa jayanya, satu rangkaian kereta api dapat mencapai 5 kereta yang terdiri dari gerbong barang dan kereta penumpang. Dilansir dari Kai.id, jadwal keberangkatannya adalah 2 kali dari Wonosobo pada waktu pagi dan sore, dan 2 kali dari Purwokerto pada pagi dan sore juga.
Namun, penutupan jalur SDS terlebih dahulu dimulai pada masa pendudukan Jepang tahun 1942. Pada waktu itu, jalur SDS antara Stasiun Kebasen hingga Tanjung dibongkar untuk menyederhanakan jalur dan penghematan, mengingat waktu itu jalurnya berdampingan dengan jalur Staats Spoorwegen (SS) Cirebon-Kroya yang sudah diresmikan sejak 1917.

Setelah kemerdekaan, jalur SDS antara Purwokerto-Banjarnegara-Wonosobo sebenarnya masih beroperasi. Namun pada tahun 1978 jalur itu ditutup karena kalah bersaing dengan moda transportasi yang menggunakan jalan raya.
Mengenang Purwokerto Timur, Stasiun Termegah yang Bernilai Sejarah