Libur Hari Raya Waisak tahun ini menjadi momentum istimewa bagi para umat Buddha dan pencinta perjalanan religi yang memilih menyeberangi Selat Sunda dengan kapal ferry dari Pelabuhan Merak menuju Bakauheni.
Tak sekadar pulang kampung atau liburan biasa, banyak di antaranya melakukan perjalanan ziarah ke vihara-vihara bersejarah di Lampung dan Sumatra Selatan, menjadikan pelayaran laut sebagai bagian dari perjalanan spiritual.
Mengenal Pelabuhan Merak, Gerbang Penyeberangan Tersibuk di Indonesia
Sejak Jumat pagi, Pelabuhan Merak tampak lebih ramai dari biasanya. Di antara para pemudik dan pelancong umum, terlihat pula rombongan umat Buddha mengenakan pakaian putih, membawa tas kecil berisi perlengkapan doa. Mereka dalam perjalanan menuju Vihara Bodhisattva di Bandar Lampung serta Vihara Vajra Bumi Sriwijaya di Palembang, dua lokasi yang sering dikunjungi untuk merayakan Waisak dengan meditasi dan puja bakti.
“Setiap tahun kami selalu ke Palembang untuk ikut perayaan Waisak di vihara utama. Tapi tahun ini kami memilih lewat jalur laut supaya perjalanannya lebih tenang dan tidak terburu-buru,” ujar Budi Santosa (45), umat Buddha asal Tangerang, yang ikut dalam rombongan ziarah bersama komunitas Dharmadipa Nusantara.
Selama perjalanan dua jam dengan ferry, suasana terasa hening namun syahdu. Di dek atas kapal, beberapa anggota rombongan duduk bersila menghadap laut, bermeditasi sambil mengatur napas. “Laut yang luas dan suara ombak membuat kita lebih mudah masuk ke suasana batin yang damai. Ini seperti meditasi berjalan, tapi di atas air,” kata Liana (29), mahasiswi Buddhis dari Serpong.
Mengenal Bakauheni, Pelabuhan Utama Penghubung Transportasi ke Sumatera
Petugas ASDP Merak, Rudi Hartanto, menyebutkan bahwa setiap libur Waisak memang ada peningkatan penumpang dengan tujuan wisata religi. “Mereka biasanya rombongan, dan sudah koordinasi sejak jauh hari. Kami bantu fasilitasi agar pelayaran berlangsung lancar, terutama bagi lansia atau penumpang khusus,” jelasnya.
Di dalam kapal, ruang ekonomi dan VIP dipenuhi berbagai wajah: dari anak-anak hingga orang tua, semua terlihat tenang. Di salah satu sudut, seorang biksu mengenakan jubah jingga duduk bersila sambil melantunkan mantra pelan-pelan. Beberapa penumpang lain terlihat menyimak, bahkan ikut membungkukkan kepala tanda hormat.
Sesampainya di Pelabuhan Bakauheni, para peziarah langsung melanjutkan perjalanan darat ke vihara tujuan. Di sepanjang rute Lampung hingga Palembang, sejumlah vihara menggelar acara puja bakti, pelepasan lampion, dan meditasi massal, menjadikan Waisak tahun ini bukan sekadar perayaan keagamaan, tetapi juga perjalanan batin yang bermakna.
Bagi sebagian besar penumpang, kapal ferry bukan hanya alat transportasi, tapi bagian dari pengalaman spiritual itu sendiri. Mengarungi lautan di Hari Waisak seakan memperdalam makna perjalanan menuju kedamaian, melepas ego, dan menyatu dengan alam semesta.
“Waisak adalah momen merenung tentang hidup, dan laut ini adalah cermin besar untuk itu,” ujar Budi sambil tersenyum, menatap cakrawala dari geladak kapal.
Menara Siger, Ikon Khas Lampung dan Bakauheni yang Jadi Penanda Titik Nol Kilometer Sumatera