Setelah mengkonfirmasi hanya akan mengoperasikan 50 persen dari kapasitas yang semula dijadwalkan hingga akhir April, belum lama ini Singapore Airlines (SIA) dilaporkan akan memangkas jauh lebih tinggi dari itu, mencapai angka 96 persen hingga akhir April. Hal tersebut tentu saja diakibatkan oleh anjloknya permintaan di tengah pembatasan perjalanan di banyak negara di seluruh dunia akibat Covid-19.
Dilansir Bloomberg, SIA bersama dengan dua anak perusahaannya, SilkAir dan Scoot, akan menggrounded 185 pesawat dari total 196, termasuk di dalamnya pesawa terbesar di dunia, Airbus A380 dan Boeing 787 Dreamliner. Di samping gitu, flag carrier Singapura tersebut juga akan melakukan berbagai langkah efisiensi lainnya, seperti menunda pengiriman pesawat dan memotong gaji karyawan guna menekan tingginya pengeluaran.
CEO Singapore Airlines, Goh Choon Phong, menyebut bahwa pihaknya akan mulai menjalankan skema pemotongan gaji tersebut pada bulan ini dengan persentase pemotongan sebanyak 15 persen dari angka (gaji) normal serta menawarkan cuti tanpa dibayar. Hal itu pun juga berlaku untuk karyawan senior dan dewan direksi. Hanya saja, untuk keduanya, belum diketahui berapakah persentase pemotongannya.
Selain itu, dalam sebuah pernyataan, SIA Group juga mengakui bahwa pihaknya memang tengah melalui masa-masa sangat sulit. Parahnya lagi, masa-masa sulit itu juga tidak diketahui kapan akan berakhir.
“Di tengah tantangan terbesar yang dihadapi SIA Group saat ini, tidak jelas kapan SIA Group dapat mulai menjalakan kembali layanan dengan normal mengingat ketidakpastian kapan pemberlakuan perbatasan yang ketat akan dicabut,” kata SIA.
Oleh karenanya, dalam keadaan sulit seperti ini, Singapore Airlines mengatakan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan lembaga keuangan mengenai kebutuhan pendanaan jangka pendek dan panjang. Kemudian, SIA juga telah menempuh jalur pembiayaan kredit untuk mendukung arus kas atau cash flow perusahaan.
Keadaan SIA seperti ini pun mengingatkan kembali pada pernyataan Centre for Aviation atau CAPA. Dikutip dari Bloomberg, seorang konsultan penerbangan dari Centre for Aviation atau CAPA mengatakan, saat ini maskapai global, secara substansial, mungkin telah melanggar perjanjian utang atau telah melakukan praktik bisnis tak sehat. Singkatnya, maskapai bisa dikatakan telah bangkrut (secara substansial). Pasalnya, saat ini, perputaran uang maskapai global tengah mandek akibat banyaknya pesawat yang grounded.
Baca juga: Tiga Aliansi Maskapai Global Desak Pemerintah di Seluruh Dunia Cari Cara Agar Maskapai Tak Bangkrut
Menariknya, SIA mungkin saja akan bernasib sama dengan maskapai regional terbesar di Eropa, Flybe. Belum lama ini, maskapai asal Inggris tersebut dinyatakan bangkrut usai tak mendapatkan suntikan dana segar dari pemerintah pusat serta dari owner mereka, konsorsium Connect Airways, perusahaan patungan milik Virgin Atlantic, Stobart Air, dan Cyrus Capital, senilai Rp3,6 triliun atau masing-masing Rp1,8 triliun.
Pertanyaan pun muncul, dengan memangkas 96 persen dari kapasitas penerbangan ditambah arus kas perusahaan yang tengah tertekan, bila SIA tak mendapatkan suntikan dana, mungkinkan SIA bernasib sama dengan Flybe?