Ditutupnya penerbangan dari sejumlah daerah dari dan menuju Bali akibat erupsi Gunung Agung yang terjadi pada 26 September 2017 memberikan dampak negatif pada dunia aviasi. Tidak hanya bagi pihak maskapai saja yang mengalami kerugian akibat erupsi ini, melainkan penumpang juga merasakan hal serupa. Lalu, apa yang menyebabkan beberapa penerbangan terpaksa dibatalkan? Tidak bisakah pesawat yang canggih dewasa ini menerjang kepulan abu vulkanik muntahan Gunung Agung?
Baca Juga: Giliran Airnav Terbitkan NOTAM, Bandara Ngurah Rai Ditutup Sementara Mulai Pagi Ini
Sebenarnya, pesawat bisa saja menerjang kepulan abu vulkanik, tapi keselamatan dalam penerbangan menjadi poin inti dikeluarkannya peraturan untuk tidak mengudara di sekitar kawasan gunung yang baru saja meletus. Peraturan tentang pelarangan mengudara menerjang abu vulkanik mulai ditegaskan kembali pasca dua ledakan gunung merapi yang terjadi pada tahun 2010 silam di Islandia, yaitu Gunung Grímsvötn pada tahun 2011 dan BárÐarbunga pada tahun 2014 hingga 2015.
Tidak bisa dipungkiri, salah satu penyebab banyaknya penundaan keberangkatan di dunia aviasi adalah karena adanya bencana alam seperti gunung meletus. Material letusan gunung berupa abu vulkanik dikhawatirkan akan tersedot oleh mesin pesawat yang umumnya berada pada bagian sayap, dan tentu saja abu vulkanik tesebut akan berubah menjadi mimpi buruk manakala eksistensinya dapat merusak bagian mesin pesawat.
Larangan demi larangan dikeluarkan berdasarkan pantauan kru darat yang bersinergi dengan beberapa instansi terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG). Nantinya larangan penerbangan tersebut akan dikonversi menjadi sebuah a Notice to Airmen (NOTAM) yang dipublikasi ke berbagai stakeholders di dunia aviasi, untuk diteruskan kepada kru udara.
Mengetahui betapa berbahayanya abu vulkanik bagi dunia aviasi, KabarPenumpang.com mengutip dari laman nature.com yang menyebutkan bahwa pesawat terbang sekarang bisa terbang asalkan konsentrasi abu tidak melebihi 0,2 miligram per meter kubik. Untuk mencegah penumpukkan abu di mesin pesawat, dibutuhkan suatu inovasi yang dapat menghasilkan pengukuran yang lebih akurat yang dapat disandingkan dengan satelit pengukur abu atmosfer.
Baca Juga: British Airways Flight 9, Guratan Kelam Dunia Aviasi Akibat Abu Vulkanik
Sebut saja PlumeRise, sebuah teknologi yang dapat memodelkan kenaikan bulu vulkanik di atmosfer lembab dan berangin. Alat ini dipercaya dapat membantu peneliti untuk menghitung secara lebih akurat intensitas letusan dan material letusan yang terbawa angin ke angkasa. Dengan menggunakan PlumeRise, para pembuat keputusan akan mendapatkan informasi yang lebih baik tentang bahaya dan kemungkinan tanggapannya dibandingkan pada tahun 2010 silam. Pembuat keputusan yang dimaksud di sini adalah instansi yang berkewenangan untuk menerbitkan NOTAM.
Selain dapat merusak bagian mesin, eksistensi abu vulkanik di penerbangan juga dapat membuat badan pesawat tertutup oleh material gunung berapi tersebut. Sebut saja kaca kokpit yang akan tertutup abu menjadi salah satu ancaman yang mengintai jika operator maskapai tetap bersikukuh menerbangkan armadanya. Bukan tidak mungkin pesawat tersebut akan mengalami kecelakaan yang diakibatkan oleh material abu vulkanik.