Saturday, October 12, 2024
HomeAnalisa AngkutanPesawat Penumpang Mana yang Bisa Terbang Paling Tinggi Sepanjang Sejarah?

Pesawat Penumpang Mana yang Bisa Terbang Paling Tinggi Sepanjang Sejarah?

Pesawat terbang komersial atau pesawat penumpang umumnya terbang di ketinggian 37 ribu kaki. Meski begitu, mereka sebetulnya bisa terbang jauh lebih tinggi dari itu. Lantas, pesawat penumpang mana yang bisa terbang paling tinggi sepanjang sejarah?

Baca juga: Mengapa Ada Batasan Ketinggian Terbang untuk Pesawat? Ini Jawabannya

Sebelum mulai terbang secara komersial, pesawat terlebih dahulu dilakukan berbagai tes esktrem, mulai dari tes terbang di cuaca sangat panas dan sangat dingin, tes bird strike, dan lain sebagainya. Namun, tidak dites terbang di ketinggian tertinggi.

Umumnya, service ceiling atau ketinggian terbang maksimum pesawat mencapai 41 ribu kaki. Ini tergantung pada jenis pesawat, narrowbody atau widebody.

Pesawat-pesawat widebody dengan empat mesin jet memiliki ketinggian terbang maksimum mencapai 43 ribu. Airbus A380, misalnya, bisa terbang maksimum di ketinggian 43.100 kaki. Begitu juga dengan pesawat Airbus A350 dan Boeing 787 Dreamliner (walaupun 787-10 dan A350-1000, yang notabene lebih besar, hanya mampu terbang maksimum di ketinggian 41.100 kaki dan 41.450 kaki).

Sedangkan untuk pesawat narrowbody terbaru, semisal Boeing 737 MAX disertifikasi untuk terbang di ketinggian maksimum mencapai 41 ribu kaki, jauh lebih tinggi dari seri klasik maupun seri aslinya yang hanya mampu terbang di ketinggian maksimum 37 ribu kaki.

Keluarga Airbus A320, yang secara head to head memiliki banyak keunggulan dibanding keluarga Boeing 737, hanya sanggup terbang di ketinggian yang lebih rendah dibanding MAX, mencapai 39.100 kaki hingga 39.800 kaki untuk seri neo.

Ketinggian terbang tersebut tentu banyak mengundang tanya, mengapa pesawat harus terbang tinggi di ketinggian tersebut?

Dikutip dari Simple Flying, prinsipnya, semakin tinggi terbang, udara akan lebih ringan, sedikit resistensi angin, lebih banyak daya, lebih sedikit kinerja mesin, dan lebih sedikit drag (gaya tahan). Hal itu berarti, beban kerja mesin akan menjadi berkurang dan output-nya pesawat akan lebih hemat bahan bakar.

Andai pesawat terbang lebih tinggi dari service ceiling yang sudah ditetapkan pabrikan, pesawat akan mengalami shutdown engine, restart engine, atau bahkan overheat dan terbakar karena telah mencapai ketinggian maksimum. Ini berbeda dengan jangkauan terbang, dimana pesawat masih bisa terbang lebih jauh dari jangkauan yang sudah ditetapkan pabrikan, dengan catatan muatan pesawat sangat rendah.

Pada Maret tahun 2020 lalu, misalnya, pesawat Boeing 787 Dreamliner maskapai Air Tahiti Nui berhasil memecahkan rekor penerbangan komersial terjauh sampai 15.715 km, lebih jauh dari standar pabrikannya mencapai 14.800 km. Ini karena muatan pesawat sangat sedikit sehingga konsumsi bahan bakar lebih hemat dan jangkauan terbang lebih jauh.

Lain hanyanya dengan ketinggian maksimum pesawat. Ini umumnya tidak bisa dipaksakan karena kandungan udara (oksigen) yang dibutuhkan mesin di udara jauh menipis. Selain itu ada faktor teknis lainnya yang membuat pesawat tidak bisa terbang jauh lebih tinggi dari ketinggian maksimumnya.

Airbus A380, misalnya, sepanjang karir pesawat tersebut belum pernah ada pemberitaan yang massif menyebut pesawat terbang lebih tinggi dari service ceilingnya.

Baca juga: Pesawat Boeing Pakai Winglet dan Pesawat Airbus Pakai Sharklet, Apa Bedanya?

Pesawat komersial yang sanggup terbang jauh lebih tinggi dari Airbus A380 dan menjadi pesawat komersial sepanjang sejarah yang mampu terbang paling tinggi di ketinggian 60 ribu kaki adalah pesawat supersonik Concorde.

Concorde diizinkan terbang di ketinggian tersebut karena didukung sejumlah teknologi yang memungkinkan untuk terbang di ketinggan tersebut, seperti jendela yang lebih kecil (bahkan tak lebih besar dari ukuran tangan orang dewasa) untuk meminimalis dekompresi, bentuk sayap delta, fitur keselamatan berupa sistem mencegah kemungkinan terburuk saat terjadi rapid emergency descent atau penurunan cepat, serta tekanan di dalam kabin yang masih dalam batas normal bagi penumpang. Pasalnya, bila tidak didukung teknologi tersebut, maka, bukan tak mungkin penumpang akan pingsan.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru