Sunday, September 24, 2023
HomeBus AKAPSopir Bus, Profesi Idaman Mertua Dahulu Kala

Sopir Bus, Profesi Idaman Mertua Dahulu Kala

Profesi pengemudi atau sopir bus kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat Indonesia. Penyebabnya tak jauh dari minimnya pendapatan yang diperoleh. Sopir juga kerap diasosiasikan sebagai pekerjaan lelaki doyan “jajan” perempuan. Banyak yang berkelakar bahwa sopir adalah singkatan dari “ngaso mampir” alias mampir istirahat sembari “jajan” perempuan.

Baca juga: Sopir Bus Mengalami Kejang, Penumpang Wanita Ambil Alih Kemudi

Tetapi, itu hanyalah stereotip. Tentu saja, masih banyak sopir yang bersungguh-sungguh di balik kemudi demi keluarga yang menunggu di rumah. Walaupun demikian, siapa sangka sopir sempat menjadi pekerjaan idaman puluhan tahun lalu. Bahkan, kala itu tak sedikit perempuan yang ingin dinikahi sopir atau orangtua yang ingin menantunya seorang sopir. Mereka paham konsekuensinya, waktu sopir bersama keluarga jauh lebih lebih sedikit, bahkan nyaris tidak ada. Tetapi pendapatan yang diperoleh membuat konsekuensi itu dikesampingkan begitu saja.

Dekade 1980-1990-an boleh dikatakan adalah masa kejayaan bisnis transportasi umum di Indonesia. Mobilitas masyarakat mulai meningkat, tetapi kepemilikan kendaraan pribadi tak semudah seperti sekarang. Sepeda motor atau mobil hanya bisa dimiliki kalangan menengah ke atas. Angkutan umum, termasuk diantaranya adalah bus mau tidak mau jadi pilihan untuk bepergian jarak dekat hingga jauh.

Saepudin ingat betul tiga dekade lalu saat dirinya masih mengemudikan bus ekonomi jurusan Jakarta-Bandung lewat Puncak. Penumpang tak pernah sepi, apalagi saat akhir pekan atau momen liburan seperti Idulfitri serta Natal dan Tahun Baru. “Sewa [penumpang] yang nyari kita. Bukan kita nyari sewa. Apalagi kalau musim libur. Bis belum masuk [terminal] Cililitan atau Kebon Kalapa sudah diserbu. Penuh pun masih ada yang maksa naik supaya bisa pulang. Nyari duit gampang zaman itu,” katanya.

Bicara soal pendapatan, Saepudin menyebut kala itu uang yang dia peroleh setiap harinya paling sedikit sepertiga dari upah minimum regional (UMR) Jakarta sebesar Rp18.200. Saat musim ramai, jumlahnya bisa meningkat hingga dua sampai tiga kali lipat. “Semua begitu, apalagi [sopir] bus ekonomi. Asal muat ya angkut, kita enggak maksa tetapi sewa yang maksa. Makanya saya bilang kan zaman itu cari uang gampang banget,” ungkap pria yang kini sudah purnatugas itu.

Sama halnya dengan Suprapto, pria yang kini sibuk dengan bisnis warung kelontong itu sempat merasakan masa kejayaan bisnis transportasi umum. Pada dekade 1990-an dia merupakan pengemudi bus malam antarkota antarprovinsi dari Jakarta ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Pindah-pindah, tetapi diusahakan yang nggak jauh dari keluarga atau bisa mampir lah ke keluarga. Kalau urusan pendapatan mah jangan ditanya. Zaman itu cari uang gampang, dari cara benar sampai nggak benar sama,” tuturnya.

Cara tidak benar yang dimaksud adalah mengangkut “R” istilah untuk penumpang gelap. Mereka naik bus, membayar kepada kru dan tidak dimasukkan dalam manifes penumpang. Tentunya praktik seperti ini sangat merugikan perusahaan. Karena uang yang seharusnya mereka terima malah masuk sepenuhnya ke kantong kru. “Kalau uang “R” ini biasanya enggak dibawa ke rumah sama teman-teman. Dipakai buat senang-senang lah, kan itu uang panas. Nah yang dibawa ke rumah itu uang premi [bagi hasil] atau sisa uang jalan. Bisa juga uang paket,” ujarnya.

Untuk uang paket, setiap perusahaan punya kebijakan berbeda-beda. Ada yang sepenuhnya diberikan kepada kru dan ada juga yang dibagi dengan persentase tertentu. Namun, ada juga perusahaan yang tidak memperbolehkan bus mengangkut paket. Paket yang diangkut bermacam-macam, termasuk diantaranya hasil bumi. Untuk hasil bumi ini biasanya adalah bus yang melintasi pasar-pasar di sekitaran ibukota, termasuk Pasar Induk Kramat Jati.

“Paket ini lumayan. Dulu pernah bawa [bus] ekonomi lintasan pasar induk. Muatannya ada petai, gori [nangka], macam-macam lah. Kadang sampai numpuk di kabin belakang. Busnya enggak keren tapi bayarannya keren karena ada muatan tadi,” ujarnya sambil terkekeh. Berkat itulah, dia berhasil menyekolahkan dua orang anaknya hingga lulus perguruan tinggi. Demikian juga dengan warung kelontong yang jadi sumber kehidupannya saat ini. Modalnya datang dari uang yang dia kumpulkan selama dua dekade di balik kemudi.

Baca juga: Disorot Gegara Rentetan Kecelakaan, TransJakarta Ternyata Punya Deretan Sopir Cantik 

“Sekarang istirahat saja, sudah tua. Zamannya juga sudah berubah. Sopir bus harus rekoso [kerja keras] biar bawa pulang uang yang enggak seberapa. Kalau masih kuat juga saya memilih bawa truk, pendapatan masih lebih baik,” tutupnya. (Bisma Satria)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru