Pernahkah terlintas di benak Anda bagaimana kereta api bisa menanjak pada medan yang cukup tinggi dan menuruni daerah tinggi dengan kecepatan yang stabil? Atau bagaimana mungkin kereta api dapat menembus perbukitan tanpa melewati tanjakkan? Tentu hal semacam ini bukanlah satu hal yang baru bagi seorang pengendali ular besi.
Baca juga: Belmond Andean Explorer, Kereta Tidur Pelintas Pegunungan Andes
Rack railway atau dalam bahasa Indonesianya di sebut rel bergerigi adalah suatu sistem rel pegunungan dimana terdapat gerigi di tengah-tengah bentang rel yang dinaikkan di atas bantalan rel guna mempermudah kereta melewati medan yang curam. Tingkat elevasi kemiringan maksimum pada jalur kereta tanpa rel bergerigi adalah 1 persen, sedangkan tingkat elevasi kemiringan maksimum pada jalur dengan rel bergerigi adalah 6 persen. Pada jalur rel bergerigi ini, kereta api dicocokkan dengan satu roda gigi atau yang lebih bertautan dengan rel sehingga memungkinkan lokomotif melewati medan yang curam.
Ada beberapa sistem jalur rel bergerigi yang telah dikembangkan. Pertama adalah Sistem Riggenbach, dimana sistem ini merupakan pelopor dari jalur rel bergerigi. Sistem ini ditemukan oleh Syvester Marsh, seorang penemu asal Amerika yang membangun jalur rel Mount Washington. Sistem Riggenbach menggunakan plat baja yang membentuk seperti rak tangga yang dihubungkan ruji bulat pada jarak yang beraturan.
Lalu ada Sistem Abt, yang ditemukan oleh seorang insinyur asal Swiss, Roman Abt. Hampir serupa dengan sistem Riggenbach, namun sistem Abt ini lebih menonjolkan plat baja yang naik secara vertical dan sejajar dengan rel. Kelebihan dari sistem ini terletak pada penggunaan gigi ujung sayap pada lokomotif yang membantu lokomotif melaju lebih lancar.
Sistem ketiga yaitu Sistem Strub yang dapat dibilang mirip dengan Sistem Abt. Sistem ini terbilang murah dan lebih terkenal. Yang membedakan sistem ini dengan Abt adalah penggunaan rak plat baja yang lebih lebar.
Sistem keempat adalah sistem Locher. Sistem ini menggunakan gigi gear yang dipotong pada pinggirnya dan digunakan oleh dua roda gigi di lokomotif. Sistem Locher ini lebih memungkinkan lokomotif melewati tanjakan daripada sistem lainnya, karena roda giginya bisa melompat dari rak. Sistem ini digunakan pada jalur rel Gunung Pilatus, Swiss.
Dari keempat sistem rel bergerigi tersebut, Sistem Abt lah yang paling banyak digunakan.
Hanya terdapat tiga sistem jalur rel bergerigi yang tersisa di Dunia, yaitu di India, Swiss, dan yang terakhir terdapat di Indonesia. Jalur kereta api di Sumatera Barat seperti yang melewati kawasan wisata lembah Anai ini merupakan jalur kereta yang menggunakan sistem rel bergerigi. Selain di Sumatera Barat, sebenarnya, jalur rel bergerigi bisa ditemui di jalur Ambarawa – Bedono, namun setelah “beristirahat” selama puluhan tahun, jalur ini kembali dibuka untuk membantu mendongkrak pariwisata Indonesia. Jalur ini kembali dibuka pada 27 Oktober 2016 lalu.

Arief Yahya, Menteri Pariwisata mengatakan jalur Ambarawa – Bedono ini sangat unik karena dibangun oleh beberapa unsur yang kaya akan nilai sejarahnya. Seperti yang dikutip dari cnnindonesia.com, Ia mengatakan sejarah singkat soal jalur rel bergerigi yang unik ini. “Zaman Belanda dulu, jalur ini digunakan untuk mengangkut tebu dan hasil bumi lainnya. Jadi ini sangat unik. Kereta uapnya lama, jalurnya lama, stasiunnya lama, dan menjadi atraksi sejarah yang sangat menantang,” pungkas pria kelahiran Banyuwangi, 2 April 1961 silam ini.
Baca juga: Tembus Pegunungan Qinling, Cina Luncurkan Kereta Cepat Lintasi Wilayah Utara dan Selatan
“Jalur ini sudah dibuka sejak 27 Oktober 2016 lalu. Jalur ini awalnya untuk mengangkut hasil bumi. Untuk sekarang ini digunakan sebagai alternatif objek wisata khusus menggunakan lokomotif uap,” tegasnya. Jadi, bagi Anda yang ingin melihat dan merasakan perjalanan wisata kereta api menggunakan lokomotif uap yang melintasi jallur rel bergerigi, silakan datangi Museum Kereta Api Ambarawa yang terletak di Jalan Stasiun nomor 1, Ambarawa, Jawa Tengah.