Sebagai penerbang, pilot-kopilot tentu saja jadi manusia yang paling mengetahui apakah pesawat akan terus terbang atau jatuh. Saat pilot mengetahui pesawat akan jatuh, biasanya yang terjadi adalah pilot menyebut-nyebut Tuhannya. Namun, itu bukanlah ‘mantra’ standar pilot profesional. Lantas, apa ‘mantra’ pilot profesional yang biasa diucapkan pilot saat tahu pesawat akan jatuh?
Baca juga: Penumpang Wajib Tahu, Pilot Selalu ‘Bohong’ Terkait Hal Ini Saat dalam Penerbangan
Menurut mantan pilot and flight simulator instructor Air Asia, Lim, seperti dikutip dari Quora, sedikitnya ada tiga ‘mantra’ yang diucapkan pilot saat dalam keadaan darurat atau saat tahu pesawat akan jatuh. Salah satu pilot yang pernah mengucapkan mantra ini adalah Capt. Moody, kapten pilot pesawat Boeing 747 British Airways flight 009.
Pada 24 Juni 1982, pesawat itu diketahui terbang dari London Heathrow ke Auckland, dengan transit di Mumbai, Kuala Lumpur, Perth, dan Melbourne. Usai berhenti di Kuala Lumpur, pesawat terbang ke Perth melewati langit Jakarta dan Sukabumi.
Celakanya, kapten Eric Moody yang tengah membawa 263 penumpang tidak mengetahui bahwa Gunung Galunggung sedang meletus atau erupsi. Tak sampai di situ, abu vulkanik gunung yang meletus pada 5 Mei 1982 dan terus mengeluarkan dentuman, pijaran api, abu vulkanik, dan kilatan halilintar sampai 8 Januari 1983 itu mengarah ke Barat. Ini pada akhirnya membuat mesin pesawat flight 009 mati total (failed).
Eric sontak kaget ketika mengetahui bahwa empat mesin pesawat yang tengah ia kendalikan tersebut tidak berfungsi, tepatnya ketika pesawat berada di atas Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Ketika mengetahui insiden tersebut, pesawat tengah berada di ketinggian 36.000 kaki atau setara dengan 11.000 meter.
Mengetahui empat mesinnya mati, yang ada dibenak Eric pesawat akan jatuh perlahan. Namun, ia tidak panik dan seolah sangat terlatih untuk ini. Hal pertama yang ia lakukan ketika itu ialah mengucapkan mantra yang biasa pilot profesional lakukan, yaitu “aviate, navigate, communicate”.
Baca juga: Apa Jadinya Kalau Semua Mesin Mati Saat Pesawat di Udara?
Walau empat mesin pesawat failed atau mati, bagaimanapun juga ia tetap harus “aviate” atau menerbangkan pesawat, lalu “navigate” atau menavigasikan pesawat ke bandara terdekat untuk mendarat darurat.
Memang, saat mesin pesawat mati, itu tidak lantas membuat pesawat jatuh vertikal bak batu jatuh dari langit. Secara teori, pesawat mampu terbang sejauh 15 km untuk setiap penurunan 1 km. Berhubung pesawat berada di ketinggian 11 ribu meter, itu berarti pesawat mampu terbang sejauh 165 km atau 23 menit sebelum jatuh ke daratan. Bandara Halim diketahui masuk dalam jangkauan itu. Diputuskan, pesawat pun menuju ke sana.
Usai menavigasi, Capt. Eric kemudian melakukan “communicate” agar semua mendapat informasi terkait hal itu. “Communicate” ini ada rumusnya untuk memudahkan pilot, yaitu mnemonik ‘CCCCC’.
‘C’ pertama ialah ‘Crew’ kokpit diberitahu tentang keadaan darurat. ‘C’ kedua adalah berkomunikasi dengan ‘Controller’ atau ATC dan menyatakan keadaan darurat Mayday. ‘C’ ketiga adalah ‘Cabin Crew’ untuk menentukan langkah-langkah yang diambil. ‘C’ keempat adalah ‘Customer’ atau penumpang agar mereka bersiap. Biasanya ini akan terdengar lebih halus dari aslinya, seperti yang Capt. Eric Moody katakan.
”Hadirin sekalian, ini kapten Anda yang berbicara. Kami punya masalah kecil. Keempat mesin telah berhenti. Kami melakukan yang terbaik untuk membuat mereka pergi lagi. Saya yakin Anda tidak terlalu tertekan.”
Baca juga: Kenapa Pilot Tak Banyak Memberikan Informasi Saat Terjadi Insiden? Inilah Alasannya
‘C’ terakhir adalah ‘Company’ agar turut diinformasikan atas apa yang terjadi.
Singkat cerita, pesawat dengan nomor registrasi G-BDXH tersebut saat menyentuh ketinggian 13.000 kaki, tiga dari empat mesin kembali menyala, sehingga pesawat tersebut bisa melakukan pendaratan darurat di Bandara Halim Jakarta dengan mulus.