Wacana soal bandara terapung di Indonesia kembali menyeruak. Hal itu terjadi setelah Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Novie Riyanto, memaparkan rencana pembangunan lima bandara terapung di Indonesia untuk kebutuhan wisata.
Baca juga: Empat Keunggulan Bandara Terapung, Nomor Tiga Sangat Menggiurkan
“Kita (akan) membangun lima bandar udara untuk wisata, khususnya wisata di daerah perairan atau yang kita kenal dengan seaplane, airport tapi yang berada di perairan karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah wilayah perairan jadi pengembangan ini menjadi fokus kita,” kata Novie dalam webinar bertajuk ‘Hub dan Superhub di Penerbangan’ yang disiarkan melalui YouTube Bisniscom, Senin lalu.
Saat ini, setidaknya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah melakukan studi di 10 wilayah terkait wacana pembangunan bandara terapung, mulai dari Danau Toba-Sumatera Utara, Pulau Senua-Kepulauan Riau, Pulau Gili Iyang-Jawa Timur, Derawan Berau-Kalimantan Timur, Gili Trawangan Lombok Utara-NTB, Labuan Bajo Manggarai Barat-Nusa Tenggara Timur, Bunaken Manado-Sulawesi Utara, Wakatobi-Sulawesi Tenggara, Pulau Widi Halmahera Selatan-Maluku Utara, dan Raja Ampat-Papua Barat.
Selain berguna untuk kebutuhan wisata, bandara terapung juga mempunyai berbagai fungsi atau keunggulan, seperti jadi pusat penelitian oseanografi dan akuakultur, pusat ekonomi, hingga pusat pengembangan energi terbarukan. Di luar itu, bandara terapung juga mempunyai salah satu kegunaan lainnya, yakni jadi tempat ideal untuk pemasangan sistem anti-rudal, sebagaimana yang pernah diwacanakan Jepang.
Dilansir mainichi.jp, bandara terapung yang dilengkapi dengan sistem pertahanan rudal pernah dijadikan pemerintah Jepang alternatif dari program rudal darat-ke-udara Aegis Ashore. Kehadiran sistem anti-rudal buatan Amerika Serikat (AS) itu, sekalipun bisa menjadi senjata baru Jepang dalam mencegat rudal balistik Korea Utara dan Cina, nyatanya mendapat penolakan keras oleh publik Jepang.
Mayoritas dari mereka khawatir, jika sistem anti-rudal Aegis Ashore AS jadi dipasang di prefektur Yamaguchi dan Akita, wilayah di sekitaran tempat pemasangan rudal akan jadi sasaran tembak. Selain itu, Pemerintah Jepang juga meyakinkan publik bahwa sistem pencegat rudal tidak akan mendarat di area permukiman dekat sistem itu dipasang. Namun, Menteri Pertahanan Jepang, Taro Kono, menyebut ada harga mahal yang harus dikeluarkan pemerintah untuk menepati janji itu.
Oleh karenanya, bandara terapung pun dinilai jadi salah satu alternatif terbaik, dengan sederet kekurangan dan kelebihannya, untuk dijadikan sebagai tempat pemasangan sistem pertahanan udara Aegis Ashore.
Hanya saja, kekurangan penempatan sistem pertahanan udara Aegis Ashore di bandara terapung Mega Float Jepang cukup membahayakan serta berpotensi menelan kerugian besar. Dari perspektif teknologi, belum ada kajian mendalam bagaimana bandara terapung bisa bertahan dari serangan badai, topan, gempa, dan tsunami yang cukup sering terjadi.
Baca juga: Bandara Terapung, Dari Sebuah Konsep Hingga Terwujud di Jepang dan Hong Kong
Sekalipun teknologinya sudah ada dan siap digunakan, tentu, kocek yang bakal dikeluarkan bisa cukup mahal, di luar harga rudal itu sendiri yang ditaksir mencapai lebih dari US$4,2 miliar atau setara nyaris Rp60 triliun.
Selain itu, menempatkan sistem pertahanan Aegis Ashore di bandara terapung juga dinilai mudah dijangkau musuh. Di saat yang bersamaan, Jepang cukup sulit mempertahankannya mengingat proses pengiriman pasukan diprediksi bakal tersendat.