Hari ini, tepat tanggal 18 Oktober, 47 tahun yang lalu, menjadi salah satu babak kehidupan paling dikenang oleh maskapai kenamaan asal Negeri Bavaria, Lufthansa. Mungkin beberapa dari Anda yang mencintai dunia kedirgantaraan global akan langsung ngeh tentang memori apa yang pernah terjadi pada pada tanggal 18 Oktober 1977. Namun bagi yang belum tahu, tanggal ini merupakan puncak dari pembajakan yang menimpa Lufthansa Flight 181 yang kala itu terbang menggunakan Boeing 737-200.
Sebenarnya, kejadian ini bermula pada tanggal 13 Oktober 1977, dimana Lufthansa Flight 181 tengah menjalani perjalanan dari Mallorca, Spanyol menuju ke Frankfurt, Jerman. Phak maskapai mengatakan bahwa kala itu, pesawat berisikan 87 penumpang dan lima awak penerbang – dimana mayoritas dari penumpang ini merupakan warga Jerman Barat yang baru pulang berlibur dari Mallorca, dan 11 penumpang diantaranya merupakan ratu kecantikan Jerman.
Keberangkatan para penumpang ini semula berjalan lancar, hingga akhirnya sekitar pukul 11.30 waktu setempat, empat orang pembajak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Commando Martyr Halima mulai menguasai seisi pesawat dan secara garis besar menuntut agar sembilan rekan mereka yang dipenjara di Jerman Barat dibebaskan serta memberikan mereka uang tunai senilai US$15 juta.
Identitas Teroris
1. Zohair Youssif Akache, warga negara Palestina (23 tahun/pria),
2. Suhaila Sayeh, warga negara Palestina (22 tahun/wanita),
3. Wabil Harb, warga negara Lebanon (23 tahun/pria), dan
4. Hind Alameh, warga negara Lebanon (22 tahun/wanita).
Drama Tragis dan ‘Keliling Dunia’
Secara kompak, keempat muda-mudi ini langsung menggegerkan seisi pesawat dan mulai ‘mengambil alih’ penerbangan yang kala itu dikemudikan kapten pilot Jürgen Schumann. Para pembajak lalu mengarahkan pesawat untuk mendarat di Roma pada sore hari dan mengisi bahan bakar di sana. Lalu di hari yang sama pada pukul 17.45 waktu setempat, Lufthansa Flight 181 kembali bertolak menuju Larnaca, Siprus tanpa arahan dan persetujuan mengudara dari ATC bandara Roma.
Pesawat yang bernama Landshut ini tiba di Larnaca sekitar pukul 20.28 waktu setempat – setelah kurang lebih menjalani perjalanan selama kurang dari tiga jam. Di sini, pembajak sempat meminta Jürgen Schumann untuk mengarahkan pesawat menuju Beirut. Namun sial, ketika hendak bertolak menuju Beirut, otoritas bandara sudah memblokade landasan dan menolak kehadiran pesawat tersebut di sana. Akhirnya si pembajak meminta untuk pesawat mendarat di Bahrain. Sebelum ke Bahrain, Landshut juga sempat hendak mendarat di Damascus (Suriah), Baghdad (Irak), namun kedatangannya ditolak.
Setelah mereka tidak mendapatkan apa yang mereka tuntut di Bahrain, pesawat yang masih berisikan penumpang komplit ini kembali mengudara, kali ini menuju Dubai dan mendarat disana pada 14 Oktober pukul 05.40 waktu setempat. Awalnya, kedatangan Landshut sempat ditolak, namun kapten penerbangan mengatakan bahwa mereka harus mengisi bahan bakar yang sudah mulai mengosong – dan akhirnya pesawat diijinkan mendarat.
Beberapa tokoh juga sempat bernegosiasi langsung dengan pembajak melalui jaringan radio, namun kesepakatan belum juga tercapai. Malahan, kali ini empat pembajak ini mengancam akan meledakkan pesawat jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Alih-alih meledakkan pesawat karena belum tercapainya kesepakatan, para pembajak ini kembali memerintah Kapten Jürgen Schumann untuk bertolak menuju Aden, Yaman. Di sini, nasib nahas menimpa sang kapten. Setelah pesawat memaksa turun di Aden International Airport, Zohair Youssif Akache mengijinkan sang pilot untuk mengecek apakah roda pesawat mengalami kendala atau tidak – kala itu pesawat mendarat di strip pemisah antara landas pacu.
Namun sekembalinya ke dalam pesawat – tepatnya di dalam kabin penumpang, Kapten Jürgen Schumann malah ditembak tepat dibagian kepala tanpa sempat menjelaskan kondisi ban pesawat. Kini yang bertugas untuk mengendalikan pesawat adalah kopilot Jürgen Vietor, dan lagi-lagi, pesawat kembali mengudara menuju destinasi terakhir, Mogadishu di Somalia.
Di Mogadishu, berbagai taktik pembebasan mulai dilakukan, hingga satu yang berhasil adalah ketika salah satu kru pembebasan menembakkan senjatanya tepat di area blind spot kabin. Sontak, para pembajak yang sedang berada di dalam kabin harus berlari ke ruang kokpit untuk mengecek apa yang terjadi. Lengah, komando GSG 9 (pasukan elit Jerman) mulai merangsek masuk ke dalam kabin, mengamankan penumpang, dan mulai menghabisi teroris ini satu per satu.
Dari keseluruhan orang yang terlibat di dalam penerbangan ini, total ada 91 orang yang selamat, terdiri dari 87 penumpang, empat awak penerbang, dan satu teroris (Suhaila Sayeh). Sungguh pembajakan yang sangat dramatis dan meninggalkan kenangan buruk bagi semua yang ada di dalam Lufthansa Flight 181.