Tahun 1977, menjadi tahun bersejarah bagi maskapai Lufthansa. Pasalnya, Boeing 737-200 yang tengah dalam perjalanan dari Majorca menuju Frankfurt dibajak oleh sekumpulan teroris pada bulan Oktober 1977. Kini, kejadian yang hampir genap 40 tahun itu menyisakan kenangan bagi semua orang yang merasakan ketegangan di dalam penerbangan nahas tersebut. Dan sebagai salah satu saksi bisu drama tersebut, sosok pesawat Boeing 737-200 yang dibajak kembali menunjukkan batang hidungnya.
Baca Juga: Pembajakan Pesawat Terlama, 39 Hari Kelam Penumpang El Al Flight 426
Seperti yang dilansir KabarPenumpang.com dari laman dailymail.co.uk (23/9/2017), rencananya pesawat tersebut akan menjadi etalase salah satu sudut di Museum Dornier, Jerman. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, tragedi pembajakan tersebut bermula ketika Boeing 737-200 milik maskapai Lufthansa baru saja bertolak dari Majorca (kini dikenal dengan Mallorca), pulau terbesar di Kepulauan Balearic, yang merupakan bagian dari Spanyol, menuju Frankfurt, Jerman.
Pembajakan tersebut terjadi pada 13 Oktober 1977 pukul 11.00 waktu setempat, dimana penerbangan Lufthansa LH 181 tengah mengangkut 86 penumpang dengan lima awak pesawat di dalamnya. Setelah berlabuh di berbagai kota untuk mengisi bahan bakar, akhirnya drama pembajakan tersebut berakhir di kota Mogadishu, Somalia pada 18 Oktober 1977. Dalam kejadian bersejarah ini, pembebasan para sandera di dalam pesawat tidak lepas dari peran pasukan anti teror Jerman, Grenzschutzgruppe 9 (GSG 9).
Selain berhasil membebaskan para sandera, insiden pembajakan ini juga merupakan misi pertama dari Police Tactical Unit milik Kepolisian Federal Jerman ini. Walaupun pilot Jürgen Schumann dan beberapa orang lainnya tewas dalam kejadian ini, namun operasi tersebut bisa dibilang berhasil dan menorehkan sejarah baru di dunia aviasi. Mengingat berharganya peristiwa kelam tersebut, maka otoritas setempat sepakat untuk megabadikan benda bersejarah tersebut.
Menteri Luar Negeri Jerman, Sigmar Gabriel, memutuskan untuk membeli bangkai pesawat tersebut seharga £20.000 (setara Rp361 juta) dan membawanya kembali pulang ke Jerman dari Brasil. Selama bertahun-tahun, Landshut, nama pesawat tersebut, bermukim di Fortaleza Airport tanpa ada penanganan khusus. Maka tidak heran jika badan pesawat tersebut nampak usang dan mulai termakan usia. “Ini akan menjadi simbol masyarakat bebas yang menolak menyerah pada ancaman terorisme,” ungkap Sigmar.
Pesawat tiba di kota Friedrichshafen dan disambut oleh sejumlah wartawan dan saksi hidup dari kejadian mengerikan tersebut, tidak terkecuali sang co-pilot, Jürgen Vietor. Pesawat narrow body tersebut diangkut menggunakan Antonov An-124, dengan bagian sayap dan ekor yang dilepas untuk memudahkan pemindahan.
Jangan hanya terpaku dengan sejarah yang ditorehkan di luar negeri, Indonesia sendiri pernah mengalami hal serupa. Kala itu, 28 Maret 1981, pesawat McDonnell Douglas DC-9-32 milik maskapai Garuda Indonesia mengangkut sekitar 57 penumpang hendak bertolak dari Jakarta pada pukul 08.00 WIB, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55 WIB. Pembajakan yang dikenal sebagai Peristiwa Woyla ini berawal ketika Garuda Indonesia Penerbangan 206 menyertakan beberapa teroris yang menyamar menjadi penumpang. Aksi tersebut dilakukan oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok Islam ekstremis “Komando Jihad”.
Pembajakan ini dilatarbelakangi oleh tuntutan agar para rekan sang teroris yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, supaya dibebaskan. Drama pembajakan berakhir pada 31 Maret 1981 di Bandara Don Mueang, Bangkok. Dalam peristiwa ini juga, nama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang semula bernama Kopassandha mulai naik pamor setelah sukses melakukan operasi kilat pembebasan pesawat. Satu anggota Kopassus, pilot, dan empat pembajak gugur dalam kejadian ini.
Baca juga: DC-9 Garuda Indonesia, Andalan Penerbangan Jet Domestik Era 80-an
Jika ditarik benang merahnya, Peristiwa Woyla dan Pembebasan Boeing 737-200 milik Lufthansa di Mogadishu memiliki beberapa kesamaan. Ketika otoritas berwenang Jerman berusaha untuk mengabadikan sejarah kelam dunia penerbangan mereka, lalu bagaimana dengan otoritas Indonesia yang mungkin lupa akan sejarah ini? Akankah mereka mendatangkan pesawat McDonnell Douglas DC-9-32 milik maskapai Garuda Indonesia yang menjadi saksi bisu kejadian kelam tersebut dan menjadikannya monumen agar generasi muda dapat mengingat sejarah?