Gunung Agung di Karangasem, Bali saat ini berstatus awas atau berada di level IV dan menjadi salah satu gunung aktif paling eksplosif di Indonesia, yang kabarnya melebihi Gunung Merapi di Yogyakarta dan Gunung Sinabung di Sumatera Utara. Gunung Agung sendiri memiliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan laut dan dari puncaknya, para pendaki bisa melihat puncak Gunung Rinjani di Lombok.
Baca juga: Bandara Blimbingsari, Andalkan Konsep Green Airport dan Kearifan Lokal
KabarPenumpang.com merangkum dari berbagai sumber, yang menyatakan gunung ini merupakan gunung yang disakralkan oleh masyarakat Hindu Bali. Berbagai macam upacara adat sering kali dilaksanakan untuk menghormati gunung tertinggi di Bali tersebut.
Sayangnya, Gunung Agung tidak memberikan catatan yang detail tentang letusan yang pernah terjadi. Adapun catatan awal Gunung Agung meletus tahun 1808 yang disertai dengan uap dan abu vulkanik. Letusan kedua terjadi tahun 1821, ini menjadi lanjutan aktivitas tahun 1808.
Namun letusan tahun 1821 tidak terekam dengan jelas dan berlangsung normal. Tahun 1843, Gunung Agung kembali meletus dengan diawali aktivitas kegempaan. Kemudian tahun 1963 atau tepatnya 120 tahun setelah letusan terakhir, Gunung Agung memulai aktivitasnya kembali pada 18 Februari 1963 dengan letusan dahsyat yang mengakibatkan 1.148 orang meninggal dunia dan 296 orang luka.
Seperti halnya di di Merapi, korban tewas mayoritas terkena awan panas yang menerjang permukaan dengan lebar 70 km per segi. Letusan ini cukup dahsyat dan baru berakhir pada 27 Januari 1964. Tapi berbeda dengan ini, kala itu di Bali belum terlalu menjadi daerah tujuan wisata utama. Jalur penerbangan juga belum terlalu di perhatikan, pasalnya Bandara I Gusti Ngurah Rai yang dibangun Belanda pada tahun 1930 baru berstatus sebagai bandara internasional pada 10 Agustus 1966 atau tiga tahun setelah pengembangan proyeknya di tahun 1963.
Baca juga: Apa Kabar Fasilitas “Khusus” Bagi Penumpang?
Penyelesaian Pengembangan Pelabuhan Udara Tuban ditandai dengan peresmian oleh Presiden Soeharto pada tanggal 1 Agustus 1969, yang sekaligus menjadi momen perubahan nama dari Pelabuhan Udara Tuban menjadi Pelabuhan Udara Internasional Ngurah Rai (Bali International Airport Ngurah Rai).
Kepala Bidang Mitigasi Gunungapi, Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gede Suantika mengatakan, penerbangan tahun itu memang terganggu dan awan panas sampai ke daerah Jawa Timur. “Terganggu iya, tetapi data jelasnya tidak tahu berapa lama. Itu bisa ditanyakan pada bagian yang menangani penerbangan,” ujar Gede saat dihubungi KabarPenumpang.com (25/9/2017).
Saat ini, Gunung Agung dengan status awasnya, Gede menambahkan, di perkirakan letusan akan besar dan bisa mengganggu penerbangan karena awan panasnya. Tapi faktanya, aktivitas bandara Ngurah Rai sampai tulisan ini diturunkan belum ada gangguan sama sekali dan masih dipastikan jalur penerbangan berjalan normal.
Berdasarkan pengukuran dari Google Maps, jarak antara Bandara Ngurah Rai di Denpasar dan Gunung Agung sekitar 75,2 kilometer, atau jika ditempuh dengan mengendarai mobil dalam kondisi lancar bisa dicapai dalam 2,5 jam. Posisi yang jelas tidak terlalu jauh, dan bila terjadi erupsi abu vulkanik, arah angin lah yang akan menentukan operasional di Bandara I Gusti Ngurah Rai.