Sebagai maskapai nasional negeri kaya minyak Oman, Oman Air memiliki kekuatan modal cukup besar yang sebanding dengan flag carrier lainnya di Timur Tengah, seperti Qatar Airways, Emirates, dan Etihad. Nayatanya, maskapai yang berbasis di Bandara Internasional Muscat itu tertinggal jauh dibanding ketiga maskapai di atas. Bagaimana bisa?
Baca juga: Oman Air – Pilihan Alternatif Penerbangan Langsung Jakarta – Timur Tengah
Technical Product Owner Emirates Airlines, Wolfgang Steuerle, coba menjawab melalui pengalamannya terbang bersama Oman Air. Ia menyebut hanya sekali terbang dengan maskapai tersebut dan menjadi penerbangan terakhir bersamanya.
Disebutkan, suatu hari, ia terbang dari Frankfurt, Jerman, ke Kuala Lumpur via Muscat, Oman. Sejak di Jerman, pelayanan staf maskapai tersebut dinilai tidak ramah.
Ketika itu, ia berdiri dengan jarak 2 meter dari penumpang lain di dekat konter check-in, lalu petugas memintanya untuk berdiri di belakang garis kuning, padahal tidak ada garis kuning di sana. Lalu dengan santainya petugas menjawab bahwa ia harus membayangkannya.
Selama penerbangan ke Oman bisa dibilang aman tanpa ada hal-hal yang dikeluhkan. Tetapi saat transit, hal-hal yang tidak ramah ke penumpang kembali dirasakan. Staf transit security check menegur penumpang dengan nada kasar tanpa sebab yang dimengeri oleh penumpang. Proses pemeriksaannya pun juga lamban dan menyebabkan antrean mengular cukup panjang.
Setelahnya, penerbangan dari Muscat ke Kuala Lumpur cenderung aman. Tak lama setelah lepas landas, pilot mengumumkan return to base akibat adanya kendala teknis, pesawat mendarat kembali di Muscat. Di sini, lagi-lagi palayanan buruk kembali ditampilkan dan dirasakan penumpang.
Penumpang kembali diperiksa oleh staf pemeriksaan keamanan transit dan lamban. Penumpang kemudian digiring ke gate lain dan dibiarkan duduk tanpa informasi apapun. Setelah sekitar satu jam, petugas dengan rompi bulan sabit merah dari arah apron coba masuk ke dalam gate untuk memberikan penumpang air minum. Namun, ditahan oleh petugas gate. Setelah bernegosiasi panjang, akhirnya petugas itu dibolehkan masuk dan membagikan air ke penumpang.
Selang sekitar satu jam kemudian, datang lagi petugas memberikan kupon makanan ke sebuah restoran sebagai kompensasi. Penumpang pun bergegas ke restoran yang dituju, tentu saja harus melewati pos pemeriksaan keamanan transit. Meski tidak ada ‘insiden garis kuning’ tetapi petugas melakukan pemeriksaan dengan sangat lamban betul-betul mengecek bagasi satu per satu secara manual.
Begitu sampai di restoran, masalah baru muncul. Restoran yang hanya menampung 20 orang dipaksa menampung ratusan penumpang.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi. Antrean panjang untuk mendapatkan kompensasi makanan gratis, meja dan bangku kurang, banyak yang makan sambil berdiri, tidak ada garpu sendok hingga memaksa penumpang makan dengan tangan atau bahkan ada yang tidak memakannya.
Tuntaas menyantap makanan, Wolfgang Steuerle beserta keluarga dan penumpang lainnya, diarahkan kembali ke gate dengan melalui pos pemeriksaan, lagi. Ini diakui cukup melelahkan. Sudah begitu petugasnya tidak ramah.
Lama menunggu, penumpang akhirnya mendapat secercah harapan. Bus datang menjemput para penumpang untuk dibawa ke gate lainnya. Bukan untuk langsung naik ke pesawat, penumpang dibiarkan menunggu di waiting room dan bermalam di sana sebelum akhirnya jam lima pagi waktu setempat penumpang akhirnya bisa benar-benar terbang ke Kuala Lumpur.
Baca juga: 10 Bandara Internasional Ini, Pilihan Transit Ternyaman di Dunia
Ini jauh berbeda dengan rute serupa dengan transit di Abu Dhabi. Wolfgang Steuerle dan penumpang lainnya diberikan pelayanan dengan sangat ramah, mewah, dan informatif. Penumpang diberikan kepastian kapan akan berangkat saat terjadi kendala eksternal. Saat itu terjadi badai pasir ekstrem di UEA dan penerbangan ditunda.
Intinya, pelayanan oleh maskapai dan bandara Oman sangat buruk dan jauh tertinggal dibanding transit di Abu Dhabi bersama Etihad, termasuk juga transit di Dubai bersama Emirates dan Doha bersama Qatar Airways.