Merger dan akuisisi tentu lumrah dalam bisnis, tak terkecuali bisnis penerbangan. Merger dan akuisisi di dunia penerbangan tercatat pertama kali terjadi sejak tahun 1928, dimana dua maskapai AS, Pan Am merger dengan Aviation Corporation of the Americas atau biasa juga disebut American International Airways.
Baca juga: Sejarah Merger Boeing dengan McDonnell Douglas, Sempat Ditentang Eropa sampai Presiden AS Turun Tangan
Maskapai-maskapai AS memang terkenal akrab dengan merger dan akuisisi. Bahkan, merger dan akuisisi maskapai terbanyak juga datang dari AS, yaitu Delta Airlines, dengan total 15 kali. Sampai saat ini, merger dan akuisisi juga seolah masih melekat.
Tengok saja sejak tahun 2000 silam, setidaknya sudah ada tujuh kali merger antar maskapai AS. Tahun 2001, maskapai legendaris AS, Trans World Airlines, diakuisisi oleh American Airlines. 12 tahun kemudian, American Airlines lanjut mengakuisisi US Airways.
Pada tahun 2008, Delta Airlines mengakuisisi Northwest Airlines di bawah perjanjian multi-miliar dolar. Lewat perjanjian ini, logo dan brand Northwest Airlines menghilang sementara brand Delta Airlines tetap eksis. Pada tahun yang sama, Southwest Airlines tercatat mengakuisisi maskapai yang berbasis di Indianapolis, ATA Airlines.
Tak ingin tertinggal dari tiga kompetitor utama, United Airlines kemudian merger dengan Continental Airlines dua tahun berselang. Ini menjadi salah satu merger yang cukup populer di AS.
Pada tahun 2016, budaya merger dan akuisisi maskapai AS berlanjut ke Alaska Airlines, dimana maskapai tersebut mengakuisisi Virgin America. Di tahun yang sama, Frontier Airlines merger dengan Midwest Airlines. Ini menjadi merger dan akuisisi terakhir selama 20 tahun dengan total tujuh aksi korporasi. Pertanyaannya, mengapa bisa sebanyak itu?
Dilansir Simple Flying, ada begitu banyak alasan di balik semua ini. Tetapi, semuanya bermuara pada kekuatan maskapai layaknya hukum rimba, dimana maskapai kuat mencaplok maskapai lemah. Bagi maskapai lemah, terus bertahan dan bersaing di industri yang cukup ketat dan cepat berubah tentu akan sangat merugikan bila tidak didukung dana besar.
Sebaliknya, bagi maskapai besar, membangun kekuatan tambahan dari jaringan, infrastruktur, dan pasar penerbangan yang sudah ada akan lebih efisien ketimbang membangun entitas baru dari awal ataupun membangun jaringan baru secara mandiri tanpa bantuan dari maskapai lain sekalipun bisnisnya lebih kecil.
Dengan begitu, tak mengherankan bila pada akhir tahun 2020 lalu, maskapai American Airlines tercatat mengoperasikan sebanyak 855 pesawat, menjadikannya sebagai maskapai terbesar di dunia dari segi armada.
Demikian juga dengan United Airlines dan Delta Airlines yang masing-masing mengoperasikan 819 dan 775 pesawat, menjadikan keduanya sebagai maskapai kedua dan ketiga terbesar di dunia dari segi armada. Di posisi keempat dalam daftar itu juga bertengger maskapai AS lainnya, Southwest Airlines dengan jumlah armada sebanyak 753.
Dari segi jumlah penumpang per tahun, keempat maskapai AS itu juga menempati urutan teratas daftar maskapai terbesar di dunia, dimana posisi puncak ditempati oleh American Airlines dan diikuti oleh Delta Airlines, Southwest Airlines, dan United Airlines.
Baca juga: Hari Ini, 37 Tahun Lalu, Pertama Kali Dalam Sejarah Dua Maskapai Barter Pesawat
Dari segi pendapatan juga demikian, tiga maskapai AS masih memuncaki empat besar, dimana Delta Airlines di posisi pertama serta American Airlines dan United Airlines di posisi kedua dan keempat. Terselip di antara keduanya, ada maskapai asal Jerman, Lufthansa Group.
Dengan terbukti berhasilnya program merger dan akuisisi oleh maskapai AS, akankah aksi korporasi itu terus terjadi di AS sampai tahun-tahun mendatang? Menarik ditunggu.