Pesawat listrik sejak tahun 1970 sebetulnya sudah dikembangkan oleh banyak pabrikan di dunia. Namun demikian, lagi-lagi, ada konsekuensi besar yang harus dibayar. Bila menggunakan pesawat listrik, beban dan durasi penerbangan harus lebih kecil dari pesawat berbahan bakar cair atau fosil.
Baca juga: Lima Alternatif Pengganti Bahan Bakar Fosil Pesawat di Masa Depan, Nomor Dua Aneh!
Paul McElroy, pimpinan tim komunikasi untuk Boeing 777 ecoDemonstrator, pernah mengatakan, dengan menggunakan bahan bakar pesawat berkelanjutan (SAF) niscaya dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca bersih hingga 80 persen. Berbeda dengan bahan bakar fosil yang melepaskan karbon serta meningkatkan jumlah CO2 di atmosfer.
Saat ini, perjalanan udara disinyalir menyumbang antara 2-3 persen dari emisi karbon dunia, tetapi persentase untuk itu setara dengan 4,5 miliar perjalanan penumpang, pergerakan 64 juta metrik ton kargo dan sepertiga dari perdagangan global dunia. Di samping itu, penerbangan juga menopang 65 juta pekerjaan. Namun, analisis penerbangan memperkirakan bahwa lalu lintas penumpang akan naik 3,5 persen per tahun hingga 2037. Bila itu terjadi, tentu persentase sumbangan emisi karbon dunia dari perjalanan udara akan semakin meningkat.
Dari sekian banyak pabrikan pesawat, Airbus adalah raksasa dirgantara pertama yang menerapkan SAF pada pengiriman pesawat ke para pelanggannya. Hal itu adalah bagian dari komitmen Airbus dalam program Initiative Towards sustAinable Kerosene for Aviation (ITAKA) yang bertujuan untuk mempercepat komersialisasi SAF di Eropa.
Airbus mengaplikasikan SAF tersebut dengan mengangkut komponen rakitan besar, seperti bagian sayap dan badan pesawat, menggunakan Super-Transporter Beluga. Pesawat tersebut sudah menggunakan bahan bakar pesawat berkelanjutan, berasal dari minyak goreng daur ulang. Diharapkan hal ini akan mengurangi emisi CO2 sekitar 120 metrik ton per bulan dari proses penyatuan perakitan, kira-kira setara dengan yang dikeluarkan sekitar 130 mobil.
Dikutip dari sandiegouniontribune.com, sebetulnya, di beberapa negara (bukan hanya pabrikan) sudah mulai menerapkan kebijakan mendorong penggunaan energi hijau (ramah lingkungan) pada pesawat. Ambil contoh Norwegia. Negara yang terletak di Semenanjung Skandinavia bagian ujung barat yang berbatasan dengan Swedia, Finlandia, dan Rusia tersebut sudah mulai melakukan kajian-kajian untuk mewujudkan pesawat listrik menguasai udara di masa mendatang. Salah satunya melalui Norway Research Association.
Norway Research Association ditugaskan oleh pemerintah Norwegia, bekerjasama dengan beberapa negara lain, untuk mempelajari teknologi baterai yang pas dan mencari tahu persepsi publik terkait pesawat listrik, dengan nilai investasi US$1,65 juta atau Rp25,3 miliar (kurs 15,370). Meskipun belum menemukan hasil yang memuaskan, namun pemerintah sudah berikrar akan membuat seluruh penerbangan jarak pendek dalam negeri di Norwegia wajib menggunakan pesawat listrik pada 2040.
Sejalan dengan pemerintah, penduduk Norwegia yang berjumlah sekitar 5,4 juta orang juga sudah menyadari betapa pentingnya penggunaan energi terbarukan di dunia penerbangan. Tak hanya itu, mereka juga mulai mengkampanyekan “flight shaming”, guna membuat orang-orang di sekeliling mereka yang masih bepergian menggunakan pesawat agar merasa malu karena telah menyumbang percepatan pemanasan global dan mendorongnya untuk beralih ke moda transportasi lain, terutama kereta.
Seorang peneliti energi dan transportasi di University College London, Andreas Schafer, mengatakan, untuk mewujudkan penggunaan pesawat listrik di masa mendatang butuh investasi yang tak sedikit. Misalnya, untuk biaya pengembangan baterai saja, setidaknya butuh sekitar US$23 miliar atau Rp353 triliun. Prinsipnya, bagaimana caranya membuat baterai dengan ukuran kecil atau paling tidak seperti ukuran baterai yang ada saat ini (baterai pesawat) namun dengan kapasitas yang jauh lebih besar. Tak hanya itu, pengembangan baterai juga mencakup durasi pengisian daya yang harus jauh lebih cepat dari yang sudah ada.
Itu baru baterainya saja. Untuk mengembangkan pesawat listrik yang sepenuhnya baru, seperti desain canggih, kemampuan jarak pendek, dan ruang yang sempit, setidaknya juga membutuhkan investasi sekitar US$23 miliar. Tentu saja angka tersebut belum termasuk dana tambahan ketika terdapat kendala di sana sini.
Baca juga: Inilah Enam Teknologi Terdepan untuk Tingkatkan Efisiensi Bahan Bakar Pesawat
Selanjutnya, balik lagi pada poin awal, bila menggunakan pesawat listrik, beban dan durasi penerbangan harus lebih kecil dibanding pesawat berbahan bakar cair atau fosil. Padahal, di saaat yag bersamaan, tren penerbangan dunia, setiap tahunnya terus mengalami lonjakan. Artinya, saat proses transisi terjadi, akan ada ‘kekacauan’ besar. Di satu sisi pesawat tak sanggup terbang jauh dan terdapat kekurangan di sana sini, di sisi lain, kebutuhan penumpang terhadap pesawat semakin dinamis. Tentu bisa dibayangkan apa yang terjadi.
Pada akhirnya, untuk mewujudkan mobil listrik lebih banyak dari pada mobil berbahan fosil saja sejauh ini prosesnya masih jauh dari kenyataan. Apalagi pesawat, yang mekanismenya jauh lebih rumit ketimbang mengoperasikan mobil listrik di darat.