Seiring terjadinya pemanasan global (global warming), turbulensi lebih sering sulit diprediksi waktu dan tempatnya. Meski begitu, menurut pengalaman banyak pilot dan penumpang, terdapat beberapa rute penerbangan yang berbahaya dan sering terjadi turbulensi hebat.
Baca juga: Enam Jenis Turbulensi Pesawat, Mana yang Paling Sering Terjadi?
Dilihat dari jenisnya, turbulensi terbagi menjadi enam; Clear air turbulence (CAT), turbulensi wind shear, turbulensi termal atau konvektif, turbulensi vortex, turbulensi mekanik, dan turbulensi frontal. Masing-masing turbulensi tersebut mempunyai penyebab tersendiri.
Dari segi intensitasnya, turbulensi pesawat terbagi menjadi tiga; lemah, sedang, dan turbulensi parah. Sebetulnya ada tambahan satu lagi yaitu turbulensi ekstrem. Namun ini jarang terjadi karena pilot diharuskan menghindari awan cumulonimbus atau inti badai berjarak 20 mil laut.
Karenanya, turbulensi ekstem jarang terjadi. Bila terjadi, pesawat dibawa terbang oleh pilot melewati inti badai dan sangat jarang atau tidak pernah ada pilot waras melakukan itu. Sedang terbang melewati tepi badai saja turbulensinya sudah cukup parah, apalagi terbang melewati inti badai (warna merah pada gambar di bawah).
Turbulensi lemah biasanya terdapat sedikit guncangan pada pesawat dan membuat penumpang sedikit tidak nyaman. Namun secara umum penerbangan masih normal.
Turbulensi sedang sudah pasti membuat penumpang lebih tidak nyaman dibanding turbulensi lemah. Guncangannya pun sudah pasti lebih kuat.
Turbulensi jenis ini bisa diibaratkan seperti bus atau mobil yang ngerem mendadak ataupun menikung tajam dan berpotensi membuat penumpang terluka atau cedera. Karenanya, tak heran bila pilot meminta penumpang dan kru kembali ke tempat duduk dan menggunakan seat belt (sabuk pengaman).
Baca juga: Gegara Pemanasan Global, Penumpang Pesawat Bakal Rasakan Turbulensi 3x Lipat
Turbulensi parah atau kuat adalah satu-satunya kategori turbulensi pesawat yang dianggap berbahaya bagi penerbangan. Turbulensi jenis ini sangat mungkin untuk membuat pilot kehilangan kendali pada mesin untuk sementara.
Menurut Mechanical Engineering jebolan Durham University, David Walker, turbulensi pada umumnya terjadi di wilayah atau zona konvergensi tropis. Zona ini berada di sekitar garis khatulistiwa tempat angin pasat dari belahan bumi utara dan selatan bertemu, menjadi badai besar, dan menyebabkan turbulensi hebat atau parah pada pesawat.
Di antara zona tersebut, salah satu yang paling berbahaya adalah di langit sekitar Teluk Benggala, terutama di atas Kepulauan Andaman.
Turbulensi di wilayah ini bukan hanya hitungan di atas kertas semata, melainkan sudah memakan korban, salah satunya insiden jatuhnya pesawat Airbus A330-200 Air France Flight 447 yang menewaskan 228 orang.
Selain kecelakaan tersebut, penerbangan internasional dari Timur ke Barat atau dari Eropa dan India ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand, begitupun sebaliknya, juga sering mengalami turbulensi parah di sekitar Teluk Benggala atau di atas Kepaulauan Andaman.
Baca juga: Seberapa Bahaya Turbulensi Pesawat?
Penerbangan Singapore Airlines dari Singapura ke London, pernah mengalami turbulensi parah di atas Teluk Benggala tepat saat penumpang tengah menyantap makan pagi (sarapan). Akibatnya, kabin porak poranda dengan penampakan baki makanan dan minuman berserakan dimana-mana.
Selain di atas Teluk Benggala atau perairan sebelah tenggara India, ada juga tempat lainnya yang sering terjadi turbulensi parah, seperti di atas perairan Teluk Arab, di atas Pegunungan Himalaya dan dekat puncak Gunung Fuji.