Insan dirgantara tentu tak banyak yang mengingat kabar tentang rencana merger dua flag carrier bergengsi Singapura dan Australia, Singapore Airlines dan Qantas. Namun, eksekutif kedua maskapai tentu tidak akan melupakan rencana tersebut. Terlebih pihak Singapore Airlines, yang awalnya sempat bersemangat tetapi harus mundur akibat keserakahan pihak Qantas (Australia).
Baca juga: Sejarah Merger KLM-Air France pada 5 Mei 2004: Gegara Open Skies
Keserakahan atau ego Qantas dalam upaya merger dengan Singapore Airlines diungkap detail oleh jurnalis Sydney Morning Herald, Matt O’Sullivan, dalam bukunya Mayday: How Warring Egos Forced Qantas Off Course.
Disebutkan, pada awal tahun 2005, tiga bos senior Qantas, CEO Geoff Dixon, Chief Financial Officer Peter Gregg, dan Executive General Manager, John Borghetti, terbang ke Singapura untuk membicarakan rencana merger Qantas-Singapore Airlines.
Sebelumnya, Qantas memang sangat bernafsu untuk melakukan merger dalam upaya memperkuat bisnis maskapai usai mengakuisisi saham British Airways sebesar 18,25 persen pada tahun 2004. Awalnya, Cathay Pacific sempat didekati Qantas. Namun ditolak mentah-mentah. Pilihan selanjutnya pun jatuh ke Singapore Airlines untuk membentuk kemitraan terkuat di Asia-Pasifik.
Dalam pertemuan di Singapura dengan petinggi Singapore Airlines, yang juga diikuti oleh bankir Singapura dan Australia, kedua pihak sepakat untuk merger.
Dalam mappingan awal, grup maskapai gabungan itu diklaim mampu menghasilkan keuntungan miliaran dolar dan mendirikan 55 perusahaan patungan. Jaringan internasional kedua maskapai juga akan digabungkan sehingga menghasilkan manfaat tak terbatas untuk kedua maskapai. Pemerintah Australia dan Singapura juga sangat mendukung upaya merger dua flag carrier-nya.
Namun, jalan terjal merger Qantas-Singapore Airlines muncul usai Qantas dan Australia menunjukkan egonya. Mereka disebut meminta Singapore Airlines untuk tidak terbang ke Australia dan Amerika Serikat, sesuatu yang tentu saja sulit diterima pihak Singapore Airlines dan Singapura.
Tak cukup sampai di situ, permintaan Singapura dan Singapore Airlines agar Qantas dan Australia menutup maskapai LCC-nya Jetstar Asia, yang notabene berbasis di Singapura dan bersaing ketat dengan Scoot, LCC grup maskapai Singapore Airlines, juga ditolak Qantas.
Ditambah lagi, Qantas dan Australia juga bersikukuh menjadikan sang CEO, Geoff Dixon, sebagai CEO grup maskapai gabungan yang kelak dibentuk. Sebetulnya sudah ada opsi agar itu dikepalai oleh dua orang agar kedua belah pihak tetap bisa menempatkan perwakilannya di posisi tertinggi. Terlebih ada sentimen nasionalisme juga terkait hal itu. Namun, Qantas menolak.
Setelah enam bulan berlalu, permbicaraan merger Qantas-Singapore Airlines akhirnya dihentikan dan tak pernah ada kata sepakat sampai saat ini akibat keegoisan Qantas dan Australia.