Masalah pencemaran udara seakan enggan beranjak dari beberapa negara. Beragam upaya pun coba dilakukan oleh regulator guna mengentaskan masalah yang mengancam kesehatan masyarakatnya tersebut. Di Indonesia sendiri, beberapa program pengurangan tingkat polusi udara hingga kini masih diberlakukan, seperti Car Free Day pada hari Minggu pagi, hingga pengadaan lebih banyak moda transportasi berbasis massal, dengan tujuan untuk menekan angka pengguna kendaraan pribadi di jalanan di Ibu Kota.
Baca Juga: Serap Pengguna Mobil Listrik Lebih Banyak, Queensland Gratiskan Electric Super Highway
Beberapa waktu yang lalu, negara di selatan Indonesia, yakni Australia sempat mengutarakan bahwa Indonesia dijadikan contoh dalam usahanya untuk mengurangi polusi, khususnya polusi udara. Diketahui, tingkat emiter karbon dioksida per-kapita Indonesia per tahun 2017 berada di angka 1,9 ton per-orang, sedangkan Australia menempati urutan ke-12 dunia dengan tingkat emiter karbon dioksida per-kapitanya berada di angka 16,3 ton per-orang. Tak pelak, dengan tingginya angka tersebut, pemerintah Australia tengah ketar-ketir dalam menghadapi masalah tersebut.
Bahkan, sebuah wacana sempat tercetuskan oleh sebuah perusahaan komersil, Northwest Carbon sebagai bagian dari Carbon Farming Initiative dari Department of Climate Change and Energy Efficiency, yang menyebutkan akan membunuh unta liar dalam rangka mengurangi tingkat polusi di Negeri Kangguru tersebut. Bukan tanpa alasan, perusahaan tersebut menilai unta sebagai hewan penghasil gas rumah kaca terbesar di Australia, karena setiap tahunnya unta menghasilkan rata-rata zat metana setara dengan satu ton karbondioksida.
Dalam sebuah pernyataan, Northwest Carbon mengusulkan akan membunuh hingga 1,2 juta ekor unta liar di wilayah Outback. Nantinya, perusahaan tersebut akan menembaki unta dari atas helikopter atau mengirim mereka ke tempat pejagalan untuk dikonsumsi oleh manusia atau hewan peliharaan. Tentu fakta mengenai unta di atas bukanlah menjadi alasan vokal mengapa Australia diklaim sebagai salah satu negara penyumbang polusi udara terbesar di dunia.
Baca Juga: Ternyata! Jakarta Dijadikan Panutan Dalam Program Pengurangan Polusi di Sydney
Dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap penggunaan mesin berbahan bakar batubara serta ekspor pertambangannya, wajar saja bila tingkat polusi di Australia sangat tinggi. Tidak heran jika pemerintah Negeri Kanguru selalu mencari cara baru untuk mengatasi masalah yang sudah mendarah daging tersebut.
Mengatasi hal tersebut, Departemen Lingkungan dan Konservasi Australia menunjukkan salah satu cara mereka untuk mengatasai masalah polusi ini. Dilansir KabarPenumpang.com dari laman advertolog.com, mereka memfasilitasi warga Perth di Australia dengan sebuah halte bus, namun bukan sembarang halte bus. Halte ini memiliki sebuah sensor gerak (motion sensor) yang akan mengeluarkan suara tepuk tangan ketika ada orang yang memasukinya.
Adapun tujuan dari pendirian halte ini adalah untuk mengapresiasi setiap orang yang sudah lebih menggunakan transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi. Dibantu Agency Marketforce Perth, pada Juni 2008 silam, mereka mendirikan sejumlah halte apresiasi ini di daerah-daerah dengan tingkat lalu lintas yang tinggi, seperti di sekitaran Central Business District (CBD).
Cukup unik bukan caranya? Lalu, jika halte seperti ini diberlakukan di Indonesia, apakah dapat mengundang minat masyarakat untuk mulai meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih menggunakan moda transportasi umum? Pertanyaan ini muncul setelah melihat sifat dasar orang Indonesia yang suka dipuji. Namun pertanyaan tersebut berbanding terbalik dengan sifat beberapa golongan warga Ibu Kota yang kerap melakukan vandalisme. Jadi, bagaimana pendapat Anda mengenai ide tersebut?