Buat Anda yang sudah tinggal cukup lama di Bekasi hingga Cikampek, Jawa Barat mungkin sudah asing dengan istilah “tiger”. Istilah itu digunakan untuk menyebut bus tiga perempat atau bus medium jurusan Pulo Gadung-Bekasi-Karawang-Cikampek.
Baca juga: Awak Mayasari Bakti Punya Panggilan Sayang ke Armadanya, Salah Satunya “Manohara”
Bus yang sebagian besar berwarna merah itu sempat menjadi andalan warga Cikampek, Karawang, dan Bekasi untuk bepergian ke Ibukota hingga medio 2000-an. Tentu saja, kala itu pilihan moda transportasi di wilayah tersebut belum sebanyak sekarang dan penggunaan sepeda motor belum masif.
Mirip seperti Metromini atau Kopaja, pemilik “tiger” sebagian besar adalah perorangan. Beberapa diantaranya bahkan dimiliki langsung oleh sang pengemudi. Mereka bebas menamai busnya apa saja sesuai keinginan mereka di bodi atau kaca menggunakan stiker.
Salah satu nama yang cukup dikenal adalah “Libra”. Entah siapa pemiliknya, tetapi yang jelas “tiger” dengan nama itu begitu dominan dan unitnya terlihat lebih “segar” dibandingkan unit-unit dengan nama lainnya.
Pada masa kejayaannya, “tiger” kerap terlihat penuh sesak, terutama pada jam pulang dan berangkat kerja. Pekerja di Kawasan Industri Pulogadung yang tinggal di timur Jakarta menjadi salah satu kelompok pelanggan tetapnya. Demikian juga dengan pekerja di pabrik yang berada di sepanjang Jalan Pantura Bekasi hingga Cikampek.
Walaupun rute resminya tidak melalui tol, ada saja unit-unit “tiger” yang masuk tol untuk memangkas waktu. Layanan yang kerap disebut “tiger ekspres” ini biasanya masuk tol di Bekasi Timur atau Bekasi Barat dan keluar di Cakung untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulogadung.
Normalnya, bus ini berjalan melewati Jalan Raya Bekasi, Pasar Kranji, Stadion Bekasi, Rawa Panjang, Terminal Bekasi, dan kemudian lanjut ke Karawang atau Cikampek lewat Jalan Pantura. Trayeknya bersinggungan dengan angkot K-25 Bekasi-Pulo Gebang dan Elf K01 Perumnas 3 Bekasi-Pulo Gadung.
Seiring bertambahnya pilihan moda transportasi lainnya dan kemudahan kepemilikan kendaraan bermotor, “tiger” mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari image-nya sebagai sarang tindak kriminal. Mulai dari pencopetan, penodongan, hingga kerap dijadikan “armada tempur” oleh siswa SMA/STM yang akan pergi tawuran.
Kemudian tak sedikit pula awaknya yang nakal, menarik ongkos seenaknya. Beberapa juga kerap menurunkan penumpang semaunya, tidak mengantarkan sampai tujuan akhir.
Kini, nyaris tidak tersisa lagi “tiger” di sepanjang jalanan Pulo Gadung hingga Cikampek. Ditutupnya Terminal Pulo Gadung juga menjadi salah satu faktor yang membuat angkutan legendaris ini menghilang ditinggalkan penumpangnya.
Kondisi bus yang reyot dan kerap ugal-ugalan juga membuat mereka ditinggal penumpang. Entah berapa banyak sumpah serapah dari penumpang atau pengguna jalan lain untuk bus merah ini.
Saat ini, “tiger” yang masih tersisa hanya melayani penumpang jarak pendek, alih-alih melayani dari ujung hingga ujung. Mereka pun sebenarnya tinggal menunggu waktu atau umur operasinya sudah mau habis dan tidak bisa diperpanjang lagi.
Baca juga: “Cilokan” Suplemen Pendapatan Awak Mayasari Bakti
Bagaimanapun kondisinya dan nasibnya “tiger” pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat Cikampek, Karawang, dan Bekasi. Tanpa adanya “tiger” mereka mungkin dahulu kesulitan beraktivitas atau bepergian. [Bisma Satria]