Wednesday, October 29, 2025
HomeAnalisa AngkutanTragedi Lion Air JT 610: 13 Menit Maut di Udara dan Drama...

Tragedi Lion Air JT 610: 13 Menit Maut di Udara dan Drama Pencarian Kotak Hitam

Tujuh tahun telah berlalu sejak musibah dirgantara yang tidak terlupakan dalam sejarah penerbangan di Indonesia. 29 Oktober 2018 menjadi tanggal kelam bagi sejarah penerbangan Indonesia. Boeing 737 MAX 8 milik maskapai Lion Air, dengan nomor penerbangan JT 610 dan rute Jakarta–Pangkal Pinang, menghilang dari radar dan jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat. Insiden yang menewaskan 189 orang ini tidak hanya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga membuka kotak pandora yang mengguncang industri aviasi global.

Pesawat PK-LQP yang mengalami kecelakaan adalah armada Boeing 737 MAX 8 yang tergolong baru, baru beroperasi selama kurang dari tiga bulan. Pagi itu, penerbangan JT 610 lepas landas dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 06.20 WIB.

Namun, hanya berselang 13 menit kemudian, tepat pukul 06.33 WIB, kontak dengan pesawat tersebut hilang secara tiba-tiba. Data penerbangan menunjukkan pola pergerakan yang tidak normal: pesawat berjuang dengan fluktuasi kecepatan dan ketinggian. Pilot sempat meminta izin kembali ke bandara (return to base), tetapi permintaan tersebut tidak sempat terealisasi.

Investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) kemudian mengungkap bahwa pesawat telah mengalami masalah teknis yang sama—ketidaksesuaian data sensor—pada penerbangan sebelumnya, namun perbaikan yang dilakukan tidak optimal.

Bingung dengan ‘Bahasa Teknis’ di Laporan Akhir KNKT Seputar JT-610? Ini Penjelasannya!

Setelah laporan hilang kontak, Basarnas mengumumkan bahwa pesawat dipastikan jatuh dan hancur berkeping-keping di Laut Jawa, sekitar 30-35 meter di bawah permukaan laut. Tidak ada satu pun dari 189 orang di dalamnya (181 penumpang dan 8 awak pesawat) yang ditemukan selamat.

Korban jiwa terdiri dari penumpang sipil, termasuk ASN dari berbagai kementerian dan lembaga yang bertugas di Pangkal Pinang, serta anggota keluarga. Proses identifikasi massal dilakukan secara dramatis di Jakarta untuk memberikan kepastian kepada keluarga yang menunggu dalam ketidakpastian.

Drama Pencarian Kotak Hitam
Mencari bangkai pesawat yang tenggelam di dasar laut yang berlumpur bukanlah pekerjaan mudah. Operasi pencarian menjadi sorotan nasional, terutama untuk menemukan dua “kotak hitam” yang menyimpan kunci misteri: Flight Data Recorder (FDR) dan Cockpit Voice Recorder (CVR).

Hasil CVR Lion Air JT-610 Bocor ke Publik, KNKT Tegaskan Datanya Tidak Sama

Tiga hari setelah kecelakaan, pada 1 November 2018, tim penyelam gabungan berhasil menemukan FDR. Penemuan ini penuh perjuangan. Penyelam harus melawan arus bawah laut yang kencang dan jarak pandang yang minim. Beberapa penyelam menceritakan bagaimana mereka harus menggali ke dalam lumpur di dasar laut setelah alat pendeteksi sinyal ping memberikan indikasi kuat.

Namun, CVR, yang merekam percakapan di kokpit, baru berhasil ditemukan pada 14 Januari 2019 atau tiga bulan setelah insiden. Bagian penting kedua ini juga ditemukan terkubur di dasar laut.

Kesimpulan yang Mengguncang Dunia
Data dari kotak hitam akhirnya menguak penyebab utama: cacat pada desain sistem MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) di pesawat Boeing 737 MAX.

MCAS dirancang untuk mencegah hidung pesawat terangkat terlalu tinggi (stall). Namun, sistem tersebut mengandalkan satu sensor Angle of Attack (AoA) saja. Ketika sensor AoA rusak (akibat salah kalibrasi pasca perbaikan) dan memberikan data yang salah, MCAS secara otomatis dan berulang kali memaksa hidung pesawat menukik tajam ke bawah.

Serupa Kasus Lion Air JT-610, Kuat Dugaan Sensor Angle-of-Attack Ethiopian Airlines ET-302 Juga Bermasalah

Pilot berjuang keras selama penerbangan 13 menit untuk mengangkat hidung pesawat, tetapi ketidaktahuan mereka akan keberadaan MCAS (yang tidak ada dalam manual pelatihan) membuat perjuangan tersebut sia-sia.

Tragedi Lion Air JT 610 ini menjadi peringatan keras pertama tentang bahaya 737 MAX, yang kemudian disusul oleh kecelakaan Ethiopian Airlines ET 302. Insiden ini mengubah regulasi penerbangan, memaksa penarikan global (grounding) seluruh armada Boeing 737 MAX, dan menekankan pentingnya transparansi desain pesawat kepada pilot.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Yang Terbaru