Mungkin semua dari Anda sudah tahu bahwa ada dua orang yang mengendalikan pesawat selama mengudara – pilot dan co-pilot. Tapi tahukah Anda asal-usul di balik penggunaan sistem yang terkenal dengan nama two-man cockpit ini? Atau siapakah penggagas dari sistem yang diterapkan secara global oleh dunia aviasi ini? Pasti Anda semua beranggapan bahwa penggagas ide ini adalah orang-orang bule sana, tapi sayangnya asumsi Anda salah. Karena yang menggagas sistem two-man cockpit ini merupakan orang Indonesia, lho!
Adalah Wiweko Soepono, seorang pejuang, perintis AURI, penerbang, perancang pesawat, pengembang industri dirgantara, pelopor penerbangan sipil, dan seseorang yang turut membesarkan perusahaan Garuda Airways (kini Garuda Indonesia) ini lahir di Blitar, pada 18 Januari 1923.
Anak sulung dari lima bersaudara ini sempat mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), semacam sekolah dasar yang diperuntukan bagi keturunan peranakan Eropa, keturunan timur asing atau pribumi dari tokoh terkemuka.
Ketertarikan Wiweko terhadap dunia aviasi mulai tumbuh ketika orang tuanya pindah ke Yogyakarta dan ia berkesempatan untuk melihat beragam event penerbangan yang sering diadakan di Kota Pelajar tersebut. Tidak hanya sebatas mengagumi dunia aviasi ketika masih kecil, Wiweko remaja semakin tertarik dengan si burung besi ini. Setelah menghabiskan beberapa tahun di Yogyakarta, Wiweko bersama keluarganya pun kembali hijrah menuju Kota Kembang, Bandung.
Berbekal majalah dunia penerbangan edisi Hindia Belanda, Wiweko remaja mulai terjun ke dunia aeromodelling dan membuat berbagai model pesawat. Dari situlah dirinya mulai mendapat banyak teman – terutama orang-orang Belanda dan pada 10 Desember 1937, Wiweko bersama salah satu teman bulenya mendirikan Klub Penerbangan Remaja Bandung. Klub ini dengan cepat terkenal setelah mendapat perhatian dari tokoh kedirgantaraan Bandung, yang pada saat itu merupakan pusat kegiatan penerbangan di Hindia Belanda.
Masa kependudukan Jepang di Bandung memaksa Wiweko menggantungkan bangku perguruan tingginya di ITB dan mulai berpartisipasi dalam perang merebut kemerdekaan. Singkat cerita, Wiweko berhasil merebut Lapangan Udara Andir yang kini berganti nama menjadi Bandara Internasional Husein Sastranegara.
Karir gemilang di sektor aviasi yang ditorehkan Wiweko membuat dirinya dipercaya oleh Presiden Soekarno untuk membeli DC-3 Dakota untuk kepentingan perjuangan Republik Indonesia. Dibumbui dengan beragam polemik dan unsur politik di dalamnya, perjuangan Wiweko dalam memperjuangkan kedirgantaraan Indonesia berbuah manis tatkala 26 Januari 1949, Garuda Indonesian Airways (Garuda Indonesia) lahir.
Berbagai kejadian penting hinggap di kehidupan Wiweko, mulai dari upayanya dalam mendirikan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), menjadi orang Indonesia pertama yang menerbangkan helikopter, Perwira Staf Teknik Deputi Logistik Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KASAU), hingga tenaga ahli Bank Indonesia urusan penerbangan. Dari sinilah, ide Wiweko Cockpit (Two-Men Cockpit) mulai tercetus.
September 1977, Wiweko berkesempatan untuk mengujungi pabrik Airbus di Blagnac, Perancis. Berbekal karir gemilangnya di sektor aviasi Indonesia, Wiweko datang dengan predikat sebagai tamu kehormatan di markas Airbus tersebut. Kesempatan menjajal bangku pilot A300 pun tak disia-siakan Wiweko kala itu.
Didampingi oleh chief pilot Airbus, Pierre Baud yang berperan sebagai co-pilot dan seorang flight engineer yang duduk persis di belakangnya, Wiweko lalu bergantian dengan Pierre untuk mendemonstrasikan touch-and-go dengan bantuan komputer yang kala itu baru menjadi inovasi paling mutakhir di dunia aviasi. Ketika ditanya tentang pendapat Wiweko mengenai teknologi touch-and-go tersebut oleh Pierre, Wiweko malah mempermasalahkan soal flight engineer yang tidak melakukan apa-apa di belakangnya.
Baca Juga: Niki Lauda – Mantan Jawara F-1 Yang Banting Stir Jadi Penggiat Bisnis Aviasi
Merasa peran flight engineer tidak lagi penting ketika disandingkan pada pesawat berteknologi komputer, Wiweko dengan tegas mengatakan, “Keluarkan kursi (Flight Engineer) dan mari kita berunding mengenai pembelian pesawat,”
Tetap berpegang teguh pada pendirian yang disokong oleh pengalamannya yang luar biasa banyak di sektor aviasi, akhirnya Wiweko berhasil menampik semua tudingan yang menyebutkan bahwa Two-Men Cockpit merupakan ide gila dan dapat membahayakan para penumpang. Sempat mendapatkan tawaran dari pihak Airbus untuk menamai kokpit yang didesainnya dengan nama ‘Wiweko Cockpit’, namun dengan rendah hati ia menolak dan meminta agar desain tersebut diberi nama ‘Garuda Design Cockpit’.
Sepulangnya ke Indonesia pasca tugas di markas Airbus tersebut, Wiweko dipanggil untuk menghadap Presiden Soeharto pada Februari 1968. Tak diduga-duga, ia diangkat menjadi Direktur Utama Garuda Indonesia pada 17 Februari 1968. Di bawah kendalinya, Garuda Indonesia berhasil melejit di sektor domestik maupun internasional. Masa kepemimpinan Wiweko berakhir pada 17 November 1984 – dengan beragam kesan dari awak Garuda semasa kepemimpinan beliau.
Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 September 2000 di Jakarta, Wiweko sempat dianugerahi Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Republik Indonesia berkat jasanya yang sangat besar pada perkembangan dunia kerdirgantaraan Indonesia, terlebih pada Flag Carrier Garuda Indonesia. Terima kasih, Wiweko!