Siapa sih yang tidak tahu pesawat Twin Otter? Ya, pesawat jenis ini akrab menyambangi daerah-daerah terpencil yang masih terisolir seperti di wilayah Indonesia bagian Timur sana. Pesawat yang memiliki daya angkut tidak lebih dari 20 orang ini memang terkenal bandel, lincah, dan tangguh. Kendati ukurannya yang kecil, justru itu menjadi kekuatan dari Twin Otter untuk meliuk-liuk di tengah tingginya pegunungan dan daerah lain yang tidak mampu dijajal oleh pesawat narrow body seperti Airbus A320 atau Boeing 737.
Baca Juga: Mengenal Jasa Penerbangan Charter di Indonesia
Selain kemampuannya untuk bermanuver di medan-medan yang sulit, satu kelebihan lain dari pesawat jenis Twin Otter ini adalah kemampuan untuk mendarat dan lepas landasnya yang spektakuler. Soal jarak lontar, jelas Twin Otter tidak memerlukan ancang-ancang yang jauh untuk mengudara – namun hal lain yang lebih keren adalah pesawat jenis ini mampu lepas landas dan mendarat di landas pacu yang seadanya. Tidak perlu landas pacu yang terbuat dari aspal atau beton, Twin Otter dapat memanfaatkan rumput sebagai tumpuan akhirnya sebelum mengudara.
Sama seperti pesawat komersial lainnya, Twin Otter pun diproduksi oleh sejumlah perusahaan pembuat pesawat terkemuka di dunia – salah satu yang paling terkenal adalah De Havilland Canada dengan produk andalannya, DHC-6.
Dilansir KabarPenumpang.com dari sejumlah laman sumber, pesawat DHC-6 ini banyak diminati oleh berbagai maskapai dari berbagai pelosok dunia, dan salah satu maskapai asal Indonesia yang menggunakan DHC-6 sebagai armadanya adalah Merpati Nusantara Airlines yang kini sudah resmi berhenti beroperasi pada 1 Februari 2014 kemarin karena terlilit masalah finansial (hutang).
Selain De Havilland Canada, perusahaan lain yang juga turut memproduksi pesawat yang masuk ke dalam kategori Short Take-Off Landing (STOL) ini adalah PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Ya, nama PTDI selalu menjadi sorotan media asing ketika ‘menelurkan’ sebuah mahakarya baru – salah satu yang paling baru adalah N219, hasil kolaborasi antara PTDI dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Pertama kali mengudara pada 16 Agustus 2017 kemarin, pesawat yang mampu mengangkut hingga 19 penumpang ini dibekali dengan dua mesin turboprop produksi Pratt and Whitney yang masing-masing bertenaga 850 SHP (Shaft Horsepower). Dengan kemampuan jelajahnya yang mencapai 210Knots, adapun jarak tempuh maksimal yang mampu dilakukan oleh pesawat ini dalam kondisi terisi penuh adalah 480 Nautical Miles.
Pesawat yang diberi nama Nurtanio (Laksamana Muda Udara Anumerta Nurtanio Pringgoadisuryo – perintis industri pesawat terbang Indonesia) oleh Presiden Joko Widodo ini diminati oleh sejumlah otoritas, seperti TNI AD, TNI AL, PEMDA Puncak Papua, Pelita Air Service, hingga Aviastar Mandiri.
Baca Juga: Akhirnya! Prototipe N-219 Sukses Terbang Perdana Hari Ini
“Kelebihan dengan Twin Otter, desain (N219) lebih baru. Twin Otter desainnya tahun 80-an. Paling penting juga pesawat ini memiliki kemampuan low speed maneuverability. Dengan kecepatan rendah pesawat ini masih bisa melakukan manuver,” ucap Direktur Produksi PTDI Arie Wibowo, dikutip dari laman detik.com (23/8/2017).
Pesawat yang cocok dengan kontur geografis wilayah Indonesia Timur ini, lanjut Arie, juga memiliki harga yang lebih murah ketimbang pesawat Twin Otter lain. “Kita bikin harganya lebih murah dikit dari Twin Otter,” ujarnya. Diketahui, N219 produksi PTDI ini dibanderol dengan harga US$6 juta atau yang setara dengan Rp89,4 miliar – sedangkan pesawat Twin Otter lain dibanderol dengan harga US$7 juta atau yang setara dengan Rp104,3 miliar.