Taksi gelap, atau taksi yang tidak resmi bukanlah hal baru di dunia transportasi Indonesia. Apalagi rute yang menuju bandara, taksi gelap merajalela dimana-mana. Taksi gelap biasanya menawarkan harga lebih murah dari taksi resmi. Bahkan dahulu taksi gelap biasanya berisikan lebih dari satu orang alias sampai bangku terisi semua.
Baca juga: Bingung Menentukan Tips Untuk Pengemudi Taksi? Simak Artikel Ini!
Biasanya taksi-taksi ini ada yang ngetem di suatu tempat atau di bandara. Salah satu bandara yang paling bayak berisi taksi gelap adalah Bandara Soekarno-Hatta (Soetta). Banyak terdapat di bandara karena akses menuju ke bandara tak seperti terminal atau stasiun yang semua kendaraan bisa masuk ke terminal-terminal di dalam bandara. Padahal di Soetta sendiri banyak taksi resmi yang bisa dipilih penumpang penerbangan.
Taksi ini hadir di Jakarta sebenarnya karena kekurangan armada bus, namun kala itu masih belum ada regulasi yang jelas sehingga masih banyak taksi hitam atau gelap. Nama taksi gelap ini sebenarnya ada karena harga yang ditawarkan murah kemudian plat nomor yang digunakan pun bukanlah yang resmi alias tak terdaftar di regulator sebagai wahana angkutan umum.

Tanda uji KIR dan peralatan yang dipakai pada taksi resmi, salah satunya alat untuk menghitung argo atau biaya yang akan dibebankan pada penumpang. Terkadang, taksi gelap yang memiliki argometer sering memberikan harga langssung atau tembak harga sesuai keinginan si supir taksinya. Padahal bila menggunakan argometer yang benar dan belum di modifikasi harga yang harus dibayarkan penumpang bisa lebih rendah atau harga standar menggunakan taksi.
Sebenarnya taksi gelap muncul akibat gejala sosial yang timbul karena perekonomian yang kurang stabil. Saat itu, mungkin banyak pekerjaan yang tidak cocok atau tidak sesuai dengan tingkat gaji yang diharaplan. Dikutip dari Kompas.com (24/3/2017), seseorang pengusaha taksi gelap, Dja’is mengatakan, 100 persen dari pengemudi taksi gelap adalah orang-orang yang tidak pandai berdagang dan bukanlah orang yang pandai untuk berkorupsi. Dengan menjalankan taksi gelap ini, sebenarnya para pemilik taksi gelap hanyalah mencari penghasilan tambahan.
Tak hanya itu, taksi yang saat ini namanya terkenal dimana-mana dengan julukan burung biru atau Blue Bird, dulunya adalah taksi gelap yang belum memiliki izin pemerintah. Usaha keluarga yang dirintis oleh Almh. Mutiara Fatimah Djokosoetono dimulai dari dua mobil bekas yakni sedan Opel dan Mercedes yang dihibahkan almarhum Djokosoetono suaminya. Bisnis taksi gelap ini awalnya dijalankan oleh kedua anak Mutiara yakni Chandra dan Purnomo dengan nama Chandra Taxi. Dengan Chandra sebai operator dan Purnomo sebagai salah seorang supir di taksi tersebut.
Tahun 1970, Gubernur saat itu Ali Sadikin memerintahkan semua pemilik taksi harus memiliki izin resmi operasional. Sehingga Chandra taxi pun di daftarkan dengan nama baru yakni yang sekarang dikenal adalan Blue Bird taksi. Namun, seiring berjalan waktu hingga saat ini pun taksi gelap masih berkeliaran di Indonesia terutama di Jakarta.
Baca juga: Stiker “Taksi Bandara,” Apa Guna dan Manfaatnya Buat Penumpang?
Penasaran kenapa sampai saat ini di Jakarta atau kota lainnya masih ada saja taksi gelap? Salah satunya ini karena taksi gelap bisa menjadi ladang bisnis bagi perseorangan. Apalagi yang tidak memiliki kerjaan menetap. Mungkin bisnis ini bisa dikatakan merugikan negara, namun di pemikiran lain, ini juga menguntungkan. Kenapa? Karena si pemilik mobil pribadi yang digunakan menjadi taksi gelap juga tetap melakukan pembayaran pajak semestinya mobil pribadi biasa dan lebih mahal disbanding dengan angkutan umum lainnya atau taksi resmi.
Kini dengan hadirnya layanan transportasi berbasis online, seperti Uber, Go-Car, dan GrabCar, komunitas yang tadinya disebut penyedia jasa taksi gelap telah mendapat ‘naungan’ dalam organisasi yang resmi, punya ukuran tarif yang jelas dan diakui eksistensinya oleh masyarakat.