Setelah pensiun sejak 2018 lalu dan hidup damai di sebuah pedesaan di pinggiran Washington, Amerika Serikat (AS), sales terbaik Airbus atau mungkin sales pesawat terbaik di dunia, John Leahy, akhirnya buka suara atas kegagalan Airbus A380 bersaing lebih jauh dengan widebody kompetitor, Boeing 747.
Baca juga: Mengharukan, Warga Iringi ‘Kepergian’ Airbus A380 Terakhir Saat Lewati Pedesaan Perancis
Dalam sebuah wawancara eksklusif bersama airlineratings.com belum lama ini, sales yang sudah menjual lebih dari 15 ribu unit pesawat sepanjang karirnya itu menyebut biang keladi Airbus A380 lambat laun ditinggalkan oleh maskapai penerbangan ialah mesin atau lebih tepatnya dibohongi produsen mesin terkait mesin buatannya.
“Saya yakin kami mendapat masalah serius ketika kami termakan perkataan dari produsen mesin. Mereka meyakinkan kami bahwa konsumsi bahan bakar mesin generasi baru akan lebih efisien dan perlu setidaknya 10 tahun lagi untuk membuat mesin yang jauh lebih baik dari itu,” jelasnya, saat mengulang cerita sebelum peluncuran A380 yang lekat dengan lobi-lobi kelas dewa, baik oleh maskapai maupun dengan mitra produsen mesin.
Namun, siapa nyana, John Leahy yang sudah menjadi sales pesawat di Airbus sejak tahun 1985, serta ikut merayu dan menyerap aspirasi maskapai agar mau bergabung dalam program A380, dikejutkan dengan kehadiran Boeing 787 Dreamliner di penghujung tahun 2009, atau empat tahun setelah penerbangan perdana A380 pada 27 April 2005.
Betapa tidak, pesawat widebody pesaing A380 itu disebut menggunakan mesin Rolls-Royce Trent 1000 dan mesin General Electric GEnx 1B-12 yang inovatif dan lebih efisien 10-15 persen dari generasi sebelumnya.

Tak sampai di situ, derita A380 juga ditambah saat Boeing meluncurkan varian terbaru Queen of the Skies, 747-8, pada Februari 2010 yang notabene menggunakan mesin General Electric GEnx 2B-67. Mesin itu diklaim jauh lebih inovatif dari versi sebelumnya yang dipakai Boeing 787 Dreamliner.
Dengan tingkat kebisiangan rendah dan efisiensi hingga 10-15 persen, Boeing 787 Dreamliner dan Boeing 747-8 yang muncul setelah A380, otomatis lebih diminati maskapai dibanding A380. Bila maskapai ingin widebody twinjet, 787 Dreamliner jadi pilihan tepat. Bila widebody quadjet atau empat mesin yang dibutuhkan, 747-8 Queen of the Skies jadi pilihan menarik.
Seiring pergeseran kebutuhan maskapai, A380 pun semakin tertinggal hingga diputuskan stop produksi, di saat Boeing 747 masih terus diproduksi. Padahal, A380 lahir jauh sesudah Boeing 747, tetapi pada akhirnya harus berakhir sebelum Boeing 747. Itulah sebab mengapa A380 disebut gagal dan semua itu disebabkan oleh mesin. Setidaknya, itulah pendapat John Leahy, sang legenda sales pesawat.
Seperti diketahui, Airbus telah menghentikan produksi super-jumbo jet rakitannya, A380 pada awal tahun 2019 lalu. Sebelumnya, raksasa manufaktur asal Benua Biru ini mendapatkan pembatalan pesanan dari sejumlah maskapai yang telah atau hendak menggunakan armada widebody ini, mulai dari Qantas, Singapore Airlines, Etihad hingga pengguna terbesarnya, Emirates.
Baca juga: Airbus Umumkan Produksi A380Ultra, Pesawat Mewah Tiga Lantai
Airbus A380 terakhir awalnya diprediksi akan meninggalkan jalur perakitan pada tahun 2021 mendatang. Namun, ketika wabah virus Corona mengguncang dunia dan mengacaukan jalur produksi, traffic penumpang, dan industri penerbangan secara keseluruhan, mulai dari hulu hingga hilir, Airbus A380 akhirnya meninggalkan jalur perakitan lebih cepat dari prediksi semula.
Betul saja, akhir Juni lalu, A380 terakhir dikirim dari pabrik Saint-Nazaire ke fasilitas perakitan akhir di pinggiran Toulouse, Perancis. Pesawat dengan kode registrasi MSN 272 tersebut tak disebutkan dengan detail akan dikirim kemana.