Sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia, mudah bagi masyarakat untuk menemui musala atau masjid dimanapun, dalam konteks ini di stasiun-stasiun di Jabodetabek. Setiap stasiun hampir seluruhnya dilengkapi dengan fasilitas rumah ibadah bagi penumpang beragama Islam.
Baca juga: Menara Air Kuno di Manggarai Kini Kondisinya Mengkhawatirkan
Tetapi, berbicara pelayanan, tak semua stasiun memberikan yang terbaik. Tentu berdasarkan kemampuan dan kendala masing-masing. Salah satunya di Stasiun Cilebut.
Di stasiun yang sudah berdiri sejak tahun 1871, musalanya bisa dibilang memang tak terlalu nyaman. Selain bising, sempit namun penumpang yang menggunakannya cenderung banyak, khususnya di waktu petang, musala di sini juga dijadikan tempat penyimpanan barang-barang kebersihan.
Sudah begitu, desainnya sama sekali tidak mencirikan masjid, seperti tidak ada kaligrafi dan sejenisnya yang biasa ditemui di musala dan masjid pada umumnya. Belum lagi masalah speaker dan ornamen, furniture dan lain sebagainya yang sekali lagi sangat tidak menyerupai masjid dan masjid.
Tetapi, di sisi lain, musala ini merupakan salah satu bagian dari beberapa bangunan asli stasiun sejak pertama kali berdiri yang masih dipertahankan. Ini yang pada akhirnya menjadi dilema tersendiri.
Sebetulnya, andaipun ingin direnovasi, itu tidak berarti harus menghilangkan nilai sejarah atau menghancurkan bangunannya.
Stasiun yang berada di bawah pengelolaan Daerah Operasi (DAOP) I Jakarta dan hanya melayani perjalanan penumpang KRL Commuter Line Jabodetabek dengan kartu single maupun multitrip ini mungkin bisa mencontoh bangunan bersejarah lainnya yang sudah direnovasi namun tetap tidak menghilangkan nilai-nilai daripada bangunan aslinya.
Mungkin, pihak KAI bisa mencontoh bangunan bersejarah yang kini difungsikan sebagai masjid atau musala tetapi berhasil direnovasi tanpa menghilangkan karakteristik aslinya; Masjid Cut Meutia.
Masjid ini dulunya adalah bangunan kantor biro arsitek (sekaligus pengembang) N.V. (Naamloze vennootschap, atau Perseroan terbatas) Bouwploeg, Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879 – 1955) yang membangun wilayah Gondangdia di Menteng.
Sebelum difungsikan sebagai masjid sebagaimana sekarang, bangunan ini pernah digunakan sebagai kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda, sampai kantor Kempetai Angkatan Laut Jepang (1942 – 1945). Setelah Indonesia merdeka, masjid ini pernah juga dipergunakan sebagai kantor Urusan Perumahan, hingga Kantor Urusan Agama.
Baca juga: Sepur Kluthuk Jaladara, Kereta Uap Kuno Yang Lintasi Jalur Kota Solo
Barulah pada zaman pemerintahan Gubernur Ali Sadikin diresmikan sebagai masjid tingkat provinsi dengan surat keputusan nomor SK 5184/1987 tanggal 18 Agustus 1987.
Walau demikian, usai difungsikan sebagai masjid, dilakukan satu dua kali renovasi, khususnya di bagian dalam, tanpa mengurangi apalagi menghilangkan karakteristik aslinya.