Setiap tahun, ada begitu banyak penerbangan tertunda atau bahkan dibatalkan karena kabut tebal yang membuat visibilitas rendah. Sekalipun bisa tertangani dengan prosedur baru di luar normal, namun, tetap saja pilot memilih untuk tidak mengoperasikan pesawat sambil terus berkomunikasi dengan ATC.
Baca juga: Ini Alasan Kenapa Pesawat Dihimbau Tak Mengudara Saat Turun Kabut
Dilansir Simple Flying, dalam kondisi bandara diselimuti kabut tebal, baik itu kabut tebal akibat kebakaran hutan seperti di Indonesia maupun kabut alami hasil kondensasi uap air, dengan visibilitas di bawah 600 meter, operasional bandara akan bergantung pada Low Visibility Procedures (LVP). LVP ini memastikan akan ada lebih banyak ruang dan waktu di bandara untuk operasional yang lebih aman.
Ketika kabut menerjang dan membuat jarak pandang sangat terbatas, bagian tersulit dalam pengoperasian pesawat bukanlah mendarat atau lepas landas, melainkan saat taxiing. Sebab, baik ATC maupun pilot, keduanya hanya bergantung pada peta dan limited visual-led communications, sejenis kelap-kelip lampu yang menjadi bagian dari airport landing system dan airfield landing system.
Begitu pesawat benar-benar taxiing, praktiknya tentu berbeda. Pesawat harus menunggu di holding point yang lebih jauh dari biasanya, baik itu CAT 2 atau 3, untuk memunginkan jarak maksimum lepas landas.
Oleh karenanya, ketimbang tetap melanjutkan taxiing, pilot memilih untuk menghentikannya. Sebab, runway aktif akan sangat membahayakan saat di tengah kabut tebal. Tak terhitung jumlah insiden fatal di bandara seluruh dunia akibat penerbangan di tengah kabut tebal. Salah satunya adalah insiden kecelakaan pesawat terburuk di dunia yang melibatkan dua Queen of the Skies, Boeing 747 Pan Am Flight 1736 vs KLM Flight 4805 di Tenerife, Kepulauan Canaria (Canary Islands), Spanyol.
Andaipun pesawat tetap taxiing dan mendapat clearance untuk lepas landas, tentu itu sudah sesuai prosedur operasional penerbangan saat dalam kondisi kabut tebal. Sudah sama-sama diketahui bahwa bandara dan pesawat mempunyai jarak pandang minimum yang berbeda untuk lepas landas. Bandara Internasional Perth dan Melbourne, misalnya, mampu melayani pesawat mendarat dan lepas landas bahkan ketika visibilitas menurun hingga 75 persen.
Hanya saja, dalam kondisi seperti itu, pesawat lain harus menunggu di holding point lebih jauh dari biasanya dan harus menunggu sampai pesawat benar-benar mengudara. Sedangkan dalam proses lepas landas, pesawat harus patuh pada airfield landing system dan tetap berkomunikasi dengan ATC untuk memastikan clearance sudah paten, menghindari insiden fatal layaknya insiden Tenerife.
Mendarat di bawah LVP pun juga bukan perkara mudah. Menurut Flight Deck Friend, karena jarak pandang minimum yang diperlukan untuk pendaratan manual adalah 550 meter, pilot harus mengandalkan autopilot untuk pendaratan. Selain itu, bandara juga harus dilengkapi dengan Instrument Landing System (ILS) yang terhubung ke pesawat agar memudahkan proses pendaratan, dengan catatan, runway tetap harus sudah clear terlebih dahulu.
Setelah ATC memberikan clearance dan fitur auto landing sudah bekerja, pilot hanya perlu memastikan bahwa sistem berjalan baik dan mengambil kembali kendali pesawat saat touchdown, melakukan reverse thrust serta pengereman.
Layaknya, takeoff, proses landing di kondisi ini harus memastikan pesawat selesai melakukan rangkaian proses pendaratan sampai taxiing ke apron terlebih dahulu, sebelum pesawat lain menggunakan runway yang sama untuk lepas landas ataupun mendarat. Hal ini tentu membuat angka pergerakan pesawat menurun.
Baca juga: Dalam Kondisi Berkabut, Penggunaan ILS Bukan Jaminan Penerbangan Bakal Lebih Efisien
Jadi, di negara manapun kabut menerjang bandara, termasuk di Indonesia, sebetulnya tak akan terlalu berpengaruh bila pesawat dan bandaranya mendukung operasional penerbangan di tengah kabut tebal, entah itu kabut akibat kebakaran hutan maupun proses alamiah.
Dengan begitu, menjawab pertanyaan di awal, bisa dibilang, sekalipun bandara sudah dilengkapi dengan sistem CatIIIB yang memungkinkan pesawat lepas landas dan mendarat dalam jarak pandang berkurang hingga 75 persen, begitupun juga sebaliknya, pesawat dibekali fitur pendaratan di tengah kabut tebal, tetap saja operasional bandara akan tergganggu. Paling tidak, jumlah pergerakan pesawat pasti menurun.