Industri penerbangan sangat terpukul akibat pandemi virus Corona yang tak kunjung usai. Bak jatuh tertimpa tangga, belum lama ini, harga minyak dunia terkoreksi naik satu persen dan diperkirakan akan terus naik mengingat produksi terhambat lantaran diterjang gelombang dingin ekstrem di Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Campur Biofuel dan Avtur, United Airlines Sukses Layani Penerbangan Trans-Atlantik Terlama!
Kenaikan itu tentu saja menyeret Avtur untuk juga ikut naik dan mencapai harga tertinggi sejak 13 bulan terakhir. Muara dari itu, sudah pasti, industri penerbangan, dalam hal ini maskapai penerbangan, akan dibuat pusing.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) pada tahun 2018 silam pernah memprediksi bahwa jumlah penumpang yang bepergian melalui udara akan mencapai 8,2 miliar pada tahun 2037. Sebelum Covid-19 mewabah, 40,3 juta penerbangan dijadwalkan lepas landas di seluruh dunia pada tahun 2020, meskipun pada akhirnya harus turun menjadi sekitar 23,1 juta dan diperkirakan akan tetap rendah di 2021.
Diperkirakan, paling cepat, jumlah penumpang akan kembali ke titik itu pada 2024 mendatang, dimana penerbangan domestik akan lebih dahulu kembali normal dibanding penerbangan internasional.
Kondisi tersebut tentu saja memukul kinerja keuangan maskapai. Andai tak ada langkah strategis dari pemerintah di seluruh dunia, bukan tak mungkin akan ada banyak maskapai bangkrut.
Sampai akhir Desember 2020 lalu, laporan allplane.tv, sudah ada 30 maskapai bangkrut. Laporan CNBC International bahkan lebih besar, dimana 40 maskapai di seluruh dunia dinyatakan bangkrut. Angka itu pasti akan bertambah seiring ketidakjelasan masa depan penerbangan global.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) sendiri akhir Desember lalu memprediksi maskapai penerbangan global bakal merugi hingga US$157 miliar atau sekitar Rp2.219 triliun lebih (kurs Rp14.135) sepanjang 2020 dan 2021. Parahnya lagi, perkiraan itu ialah hitungan kasar dan bisa jadi jauh lebih buruk.
Kendati traffic penumpang sudah mulai meningkat seiring vaksinasi massal di seluruh dunia, tetapi, angkanya masih belum cukup untuk membuat keuangan maskapai kembali sehat. Hanya saja, belum juga bernapas lega karena traffic penumpang berangsur pulih, maskapai harus menelan kenyataan pahit, yaitu harga minyak dunia naik.
Dilansir oilprice.com, harga aviation turbine fuel (Avtur) bahkan mencapai yang tertinggi sejak 13 bulan belakangan pada pekan lalu imbas dari kenaikan harga minyak dunia.
Baca juga: Bukan Cuma Corona, Krisis Minyak Tahun 1973 Juga Bikin Industri Penerbangan Global Rugi Besar
Disebutkan, kendati permintaan Avtur turun lantaran pergerakan pesawat menurun, lantas bukan berarti harga Avtur ikut turun mengikuti supply and demand. Harga Avtur tetap mengikuti harga minyak dunia. Itulah mengapa bahan bakar pesawat ini ikut naik ketika minyak dunia merangkak naik.
Minyak dunia merangkak naik diketahui akibat serangan gelombang dingin Arktik yang melanda sebagian wilayah agak hangat di AS. Gelombang dingin ini pun menyebabkan gangguan dalam skala besar dalam proses produksi dan penyulingan karena terjadi instalasi dan minyak membeku. Pemadaman listrik pun melengkapinya menjadi sebuah bencana besar bagi maskapai penerbangan dan tentu saja industri lain.