Boeing 727 bukan hanya masyhur dikenal dengan mesinnya yang berjumlah ganjil (trijet atau pesawat yang memiliki tiga mesin) melainkan juga dikenal karena memiliki airstairs. Fitur pengganti stair car atau mobil tangga itu nyatanya memang tak banyak disematkan pesawat-pesawat lainnya di dunia, wajar bila pesawat yang dilengkapi airstairs menjadi mudah dicirikan.
Baca juga: Minta Tebusan Rp20Juta dan Parasut, Inilah Kronologi Pembajakan Pesawat Pertama di Indonesia
Di zamannya (sejak sekitar tahun 1963), fitur airstairs Boeing 727 memang dinilai sangat memudahkan penumpang, juga maskapai dan operator bandara, ketika pesawat diharuskan mendarat di bandara yang tak memiliki skybridge (garbarata) ataupun mobil tangga.
Akan tetapi, polemik muncul saat memasuki tahun ke delapan fitur airstairs di Boeing 727. Kala itu, D. B. Cooper, seorang warga yang identitasnya masih misterius, dilaporkan berhasil membajak pesawat Boeing 727 saat dalam penerbangan Northwest Orient Airlines rute Portland, Oregon menuju Seattle, Washington, Amerika Serikat (AS) pada tanggal 24 November 1971.
Pembajak pesawat tersebut kemudian mendesak pilot untuk didaratkan guna mengambil imbalan uang sebesar US$200.000 (setara US$1,26 juta hari ini) beserta empat parasut. Setelah mendapatkan semua itu, ia memerintahkan pilot untuk membawa pesawat terbang ke Mexico City via Reno, Nevada, AS untuk mengisi bahan bakar.
Dalam perjalanan itulah pilot menyadari bahwa pintu belakang (rear door) pesawat terbuka dan pembajak diketahui melompat dari sana. Hingga kini, uang dan pembajak tersebut tak diketahui keberadaannya, hilang tanpa jejak bak hantu. Diperkirakan, ia tewas saat dalam proses penerjunan.
Simple Flying menyebut, pasca kejadian pembajakan oleh D. B. Cooper, Amerika Utara mendapat teror pembajakan pesawat sebanyak 31 kasus, dengan sembilan di antaranya menggunakan metode yang sama persis; membajak, meminta sejumlah uang dan parasut, serta melarikan diri di tengah perjalanan melalui pintu belakang Boeing 727 yang berada tepat di bawah ekor pesawat.
Di situlah letak kontroversi keberadaan pintu belakang. Bila sebelumnya pintu belakang di bawah ekor pesawat itu diklaim cukup membantu saat berfungsi sebagai airstairs, namun, setelah kejadian itu rear door justru malah membantu pembajak pesawat memuluskan aksinya.
Perlu diketahui, selain dibantu dengan keberadaan pintu belakang itu, pembajak juga bisa sukses melakukan aksinya karena belum adanya aturan mengunci pintu kokpit ataupun cara kerja pintu kokpit dalam menahan serangan belum se-sempurna teknologi pintu kokpit pesawat saat ini.
Lagi pula, bila pun pintu kokpit bisa dibuka paksa, skema pembajakan pesawat model seperti di atas, yang notabene berusaha melarikan diri dengan membuka pintu pesawat saat di udara, mustahil dilakukan. Sebab, tekanan kuat dari luar menjadikannya mustahil dibuka saat di udara.
Kembali ke masalah pintu belakang Boeing 727, setahun pasca D. B. Cooper sukses membajak pesawat dan menghilang tanpa jejak, Regulator Penerbangan Sipil AS (FAA), sadar akan adanya sesuatu yang harus diubah. Mereka pun akhirnya memperkenalkan Cooper Vane, sebuah komponen mekanik baru di pintu kokpit agar tak bisa ditembus oleh pembajak saat dalam penerbangan.
Cara kerjanya, vane (baling-baling) cuaca kecil ditempel di spring-loaded paddle. Saat pesawat tak bergerak atau tengah berada di darat, airstairs atau pintu belakang pesawat bisa dibuka sebagaimana mestinya.
Baca juga: Pernah Gagalkan Pembajakan Singapore Airlines, Mantan Anggota Pasukan Khusus Kini Menjadi Biksu
Namun, ketika pesawat tinggal landas atau tengah berada di udara, paddle akan terdorong kembali oleh angin dan menutupi tangga. Otomatis, tangga tak bisa dibuka. Walupun cukup jadul, namun, cara tersebut cukup ampuh sekalipun teknologi tersebut kini sudah digantikan dengan yang lebih canggih.
Tak mau ketinggalan Boeing, kompetitor satu negara, McDonnell Douglas, akhirnya juga menyematkan alat serupa (Cooper Vane) di pesawat DC-9 yang notabene juga memiliki pintu belakang layaknya Boeing 727.