Setelah beberapa waktu ke belakang santer kabar yang beredar soal pengalih-gunaan pesawat Boeing menjadi pesawat yang melayani pengiriman kargo saja, baru-baru ini perusahaan yang didirikan oleh William Boeing tersebut baru saja merayakan peresmian produksi jet 777X generasi terbaru. Acara peresmian yang dilakukan di gedung di mana struktur pendukung untuk sayap komposit karbon 777X dirakit tersebut dihadiri oleh kurang lebih 200 pegawai di Boeing dan juga sejumlah awak media.
Baca Juga:Eva Air Tampilkan Tema Hello Kitty di Boeing 777-300ER
Dihimpun KabarPenumpang.com dari laman geekwire.com (23/10/2017), klimaks dari acara tersebut terjadi ketika sebuah laser-guided robotic arm mengebor sebuah lubang ke lapisan serat karbon pada bagian sayap yang membentang sejauh 105 kaki, dan memasang pengikat pertamanya. Momen tersebut dibarengi dengan tepuk tangan dan sorak sorai para pegawai yang bekerja di salah satu perusahaan manufaktur pesawat multinasional terbesar itu.
“Ini merupakan sebuah terobosan yang akan tercatat sebagai sebuah sejarah. Bagaimana kami memproduksi, bagaimana kita merakit, dan bagaimana kita menerbangkan pesawat kita,” ungkap wakil presiden pengoperasian Boeing 777 dan 777X, Jason Clark. Sebenarnya, ini merupakan suksesor dari 787 Dreamliner, dimana pesawat yang dikhususkan untuk perjalanan jarak jauh tersebut merupakan titik balik Boeing dalam mengoperasikan sistem otomatisasi yang lebih besar, dan penggunaan serat karbon ringan untuk beragam komponennya.
“Ini merupakan jerih payah kami selama empat tahun terakhir, kami benar-benar memusatkan tenaga kami untuk sampai ke titik ini,” imbuh Jason. Dua varian Boeing 777X, 777-8 dan 777-9, dirancang untuk membawa antara 350 dan 425 penumpang, melampaui kapasitas Boeing 777 generasi terbaru dengan 396 kursinya. Jet-jet baru ini juga diperkirakan akan lebih efisien hingga 20 persen bahan bakar.
Dalam jangka waktu empat tahun sejak 777X pertama kali diumumkan, Boeing telah menerima sekitar 340 pesanan, termasuk 20 pesawat yang dipesan oleh Singapore Airlines dengan kontrak senilai $13,8 miliar yang ditandatangani di Gedung Putih pada Senin (23/10/2017) kemarin. Pihak Boeing sendiri mengatakan bahwa jet ini akan diuji coba pada tahun 2019 mendatang dan pengiriman 777X pertama ini dijadwalkan pada tahun 2020.
Baca Juga:Beberapa Hal Yang Terlupakan dari Nama Besar Boeing
Wakil Presiden dan Chief Project Engineer untuk 777X di Boeing Commercial Airplanes, Terry Beezhold mengatakan bahwa proses produksi juga dinilai lebih aman bagi orang-orang yang membangun pesawat tersebut. “Itu merupakan pekerjaan yang sangat sulit dilakukan, secara ergonomis,” ungkapnya kepada awak media setempat.
Beberapa waktu lalu, Kinerja keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah mendapat sorotan publik, namun secara bertahap maskapai kebanggaan nasional ini mulai menunjukkan sinyal yang positif dalam laporan keuangan terbarunya, dimana Garuda Indonesia berhasil membukukan laba bersih US$61,9 juta pada periode kuartal ketiga (Q3) tahun 2017, atau naik 216,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Perusahaan juga mencatatkan kenaikan operating revenues sebesar 11,2 persen, dari US$1,101 miliar pada Q3-2016 menjadi US$1,225 miliar pada Q3-2017.
Baca Juga: Setelah Merugi di 2017, Garuda Indonesia Canangkan Return to Profit di 2018
Pertumbuhan positif tersebut didukung oleh peningkatan kinerja Perusahaan diseluruh aspek, mulai dari finansial, operasional, maupun layanan sejalan dengan penerapan strategi “5 Quick Wins”, yaitu Fleet Cost Optimization, Service Level Improvement, Routes Optimization, Channel Optimization with Focus on Digital to become IT-Based Airline, dan Enhance Revenues Management System.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury pada paparan publik kinerja 3Q-2017 Garuda Indonesia Group di Kantor Pusat Garuda Indonesia di Cengkareng (25/10/2017) mengungkapkan, “Berbagai upaya yang dilakukan Perusahaan mulai menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini terlihat dari pertumbuhan positif yang dicapai, terutama pada kinerja rute internasional, tingkat utilisasi pesawat, dan kontribusi pendapatan dari platform e-commerce.”
Secara year to date, Garuda Indonesia membukukan operating revenues sebesar US$3,111 miliar pada 9M-2017, atau naik 8,6 persen dibanding 9M-2016 sebesar US$2.865 miliar. Sejalan dengan profit yang dicapai pada 3Q-2017, Garuda Indonesia juga berhasil menekan rugi bersih menjadi US$76,1 juta hingga 9M-2017 (di luar extraordinary items), dari sebesar US$137.9 juta (di luar extraordinary items) pada 1H-2017.
Peningkatan operating revenues tersebut ditopang oleh tumbuhnya kinerja operasional perusahaan di pasar internasional yang tercatat di atas rata-rata kinerja maskapai Asia Pasifik. Perusahaan berhasil mengangkut sebanyak 3,7 juta penumpang internasional hingga 9M-2017 atau naik 12.8 persen dibandingkan 9M-2016 sebesar 3,3 juta penumpang. Adapun penumpang kilometer diangkut (Revenue Passenger Kilometers/RPK) meningkat sebesar 15,5 persen, jauh di atas rata-rata pertumbuhan RPK maskapai di Asia Pasifik sebesar 7,9 persen.
Pertumbuhan tersebut juga ditopang oleh adanya peningkatan yang signifikan pada kontribusi pendapatan dari platform digital Perusahaan sebesar US$450,6 juta pada 9M-2017, atau naik 7,6 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Peningkatan ini didorong oleh adanya kenaikan jumlah download Mobile Apps Garuda Indonesia sebesar 698.000 unduhan sepanjang 9M-2017, sehingga total unduhan aplikasi mobile tersebut sejak pertama kali diluncurkan hingga saat ini telah mencapai 2 juta unduhan.
Baca Juga: Garuda Indonesia Klaim ‘On Time Performance’ Embarkasi Haji 2017 Adalah Yang TerbaikPendapatan dari Kargo
Garuda Indonesia mencatatkan pertumbuhan pendapatan kargo sebesar 9,6 persen menjadi sebesar US$170,8 juta pada 9M-2017. Selain itu, sejalan dengan program Revenues Management System Enhancement, Perusahaan juga berhasil membukukan peningkatan ancillary revenues sebesar 19 persen menjadi US$53,9 juta pada 9M-2017.
Pengangkutan kargo Garuda Indonesia juga tercatat mengalami kenaikan 8,1 persen menjadi sebesar 104,7 ton pada 3Q-2017, dari sebelumnya sebesar 96,9 ton pada periode 3Q-2016. Secara year to date, Perusahaan berhasil mengangkut sebanyak 324,1 ton hingga 9M-2017, naik 9,8 persen dari periode 9M-2016 sebesar 295,2 ton.
Para pengguna setia KRL Jabodetabek mungkin pernah melihat tuas rem darurat (rem bahaya) yang terletak di setiap gerbong. Sesuai dengan namanya, instrumen ini hanya boleh dipergunakan ketika kondisi darurat yang mungkin terjadi kapan saja. Memang, ada petunjuk pemakaian yang tercantum di beberapa gerbong, namun tetap saja keberadaannya tidak melulu menyelesaikan masalah.
Baca Juga: Human Error Duduki Peringkat Teratas Penyebab Kecelakaan Kereta
Sebagaimana yang dihimpun KabarPenumpang.com dari berbagai sumber, Anda sebenarnya memiliki wewenang untuk menarik tuas ini manakala kereta yang Anda tumpangi mengalami situasi darurat, namun tidak ada salahnya jika Anda menunggu instruksi dari petugas kereta. Melansir dari laman mta.info, tertulis peraturan: “Tarik tuas rem darurat hanya jika kereta yang Anda tumpangi mengindikasikan sesuatu yang bisa mengancam nyawa penumpang.”
Disarankan pula untuk tidak menarik tuas rem darurat ini jika kereta yang sedang Anda tumpangi berada di dalam terowongan. Karena hal tersebut dipercaya akan memperlambat proses evakuasi penumpang yang terperangkap di dalam kereta. “Begitu kabel rem darurat ditarik, rem harus diatur ulang sebelum kereta bisa bergerak lagi.” Jadi, sudah jelas salah satu instrumen keselamatan dalam berkendara ini bukan untuk dipermainkan dan penggunaannya pun harus bijak.
Dikutip dari sumber lain, fungsi umum dari tuas rem darurat yang tersedia di setiap gerbong ini adalah untuk untuk membuka katup yang terhubung ke saluran angin yang menjalar di sepanjang KA. Begitu diputar, tekanan udara di saluran angin tersebut akan terbuang, silinder mengunci, KA akan mengerem darurat.
Instrumen standar keselamatan Kereta Api. Sumber: keretaapikita.com
Mengingat beragam kemungkinan yang terjadi jika tuas rem darurat ini ditarik bukan pada waktunya, tentu ini akan menghasilkan sebuah masalah baru jika Anda bermain-main dengannya. Seperti yang terjadi di KRL Jabodetabek pada Jumat, 8 Agustus 2014 lalu, dimana seorang penumpang iseng menarik tuas rem darurat tersebut. “Setelah rem darurat ditarik otomatis kereta api terhenti. Untuk diaktifkan atau dinormalkan kembali butuh waktu yang lama. Penumpang pun terpaksa dialihkan ke kereta yang lain,” ujar Daru, salah seorang petugas call center Commuterline, dikutip dari laman merdeka.com.
Oknum tidak bertanggung jawab yang menarik tuas rem darurat di KRL Bogor-Jatinegara tersebut pun menghilang bak ditelan bumi.
Tidak hanya sekali, kejadian serupa juga pernah menimpa KRL tujuan Serpong pada Minggu, 29 Maret 2015 silam. Seorang pemuda nyaris menjadi bulan-bulanan massa ketika ia menarik tuas rem darurat ketika KRL tersebut meninggalkan stasiun Kebayoran, Jakarta Selatan. “Tidak pak, tangan saya kejepit, jadi menarik rem darurat,” ujar sang pemuda tersebut membela diri, dikutip dari laman tribunnews.com. Sama seperti kejadian sebelumnya, pemuda yang disinyalir bernama Husein Sanusi tersebut hilang entah kemana.
Baca Juga: Antisipasi Kecelakaan di Jalur Kereta, Kemenhub Datangkan Kereta Derek
Bagi siapa saja yang ketahuan menarik tuas rem darurat ini tanpa ada situasi darurat atau hanya iseng semata, maka ia akan dikenakan sanksi pidana, merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, dimana orang tersebut akan dikenakan hukuman penjara maksimal 15 tahun. Jadi, jangan pernah main-main dengan instrumen keselamatan berkendara ini ya!
Dalam suatu kondisi, Bandara Melbourne di Negara Bagian Victoria, Australia digadang bakal mampu menampung 100 juta pergerakan penumpang per tahunnya. Hal ini dikarenakan kota tersebut mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat besar dan semakin tingginya permintaan untuk bepergian. Apalagi jika jaringan kereta api bandara telah diluncurkan dan dapat menghubungkan langsung ke Central Business Distric (CBD).
Baca juga: Demand Melonjak, Garuda Indonesia Tambah Jadwal Penerbangan Denpasar-Melbourne
Seiring dengan pesatnta pertumbuhan penumpang di bandara, otoritas kota Melbourne juga tengah memikirkan lalu lintas di Tullamarine Freeway, yakni akses jalan raya utama yang menghubungkan antara bandara dan CBD. Tahun 2016 lalu, Bandara Melbourne diketahui menangani lebih dari 35 juta penumpang dan diperkirakan akan melampaui 60 juta penumpang pada tahun 2033 mendatang.
KabarPenumpang.com melansir dari laman heraldsun.com.au (22/10/2017), nantinya akan ada sebuah terminal baru, area shopping yang ditingkatkan dan sistem perekaman keamanan yang berteknologi tinggi untuk setiap penumpang di bandara Melbourne. CEO Bandara Melbourne Lyell Strambi mengatakan bahwa Bandara Melbourne memiliki dua kali lipat dari massa di Bandara Heathrow London Inggris. Sehingga ada kemungkinan pada akhirnya bisa menangani 100 juta penumpang per tahun.
“Orang akan berharap pada tahap itu kita akan memiliki jalan lingkar luar, kami mungkin akan membangun terminal bandara di sebelah barat, itu akan menjadi bangunan yang berbeda dengan apa yang ada sekarang. Bukan untuk generasi saya dan bukan untuk manajer bandara yang mengikutiku, tapi akan diperuntukkan bagi generasi masa depan, dan ini semua untuk kepentingan warga Victoria,” ujarnya.
Saat ini diketahui, cetak biru perencanaan negara untuk membangun bandara utama lain di tenggara Melbourne sudah ada. Namun, Strambi mengatakan bahwa akan lebih banyak keuntungan untuk memiliki satu pusat penerbangan yang efisien untuk sebuah kota. “Bandara Melbourne saat ini berjarak hanya 26 km dari pusat kota. Bila Anda harus melakukan perubahan ke bandara kedua, itu menambah banyak biaya,” katanya.
Bandara Melbourne pada akhir tahun ini akan menyelesaikan pembangunan sebuah kawasan ritel mewah pada Terminal 2 nya. Dimana tahap pertama transformasi ritel akan menghabiskan biaya US$50 juta yang sudah mencakup ruang arsitektur unik dengan menampilkan patahan pada langit-langitnya.
Nantinya area penjualan ini sudah mulai beroperasi pada Natal dan klaim bagasi kedelapan di daerah kedatangan internasional juga akan menyimpan cukup banyak tas untuk melayani dua pesawat berbadan lebar. Selain itu, pada bandara ini juga akan ditambahkan terminal kelima yang letaknya dekat dengan terminal 4 pada tahun 2033 mendatang.
Strambi, mantan eksekutif senior Qantas, mengatakan bahwa bandara tersebut bekerja sama dengan bandara dan maskapai lain untuk menentukan tingkat penyaringan keamanan berikutnya.
“Sayangnya ancaman teror itu tidak akan hilang dan ini tentang bagaimana Anda terus berevolusi untuk mencocokkannya. Jika Anda bisa melakukan ID positif pada orang-orang yang menggunakan biometrik tapi tanpa memberlakukan antrian besar untuk melakukan kecocokan ID tersebut, Anda akan mendapatkan hasil keamanan yang lebih baik dan Anda tidak mengalami masalah lain, lebih banyak orang yang berdiri di sekitar massa besar. yang bisa diserang di luar petugas keamanan. Tujuan kami adalah untuk membuat orang aman dan diskrining dan melalui lingkungan yang aman secepat mungkin,” jelasnya.
Baca juga: Antisipasi Terorisme, Bandara-Bandara di Australia Dihimbau Perketat Keamanan
Pemerintah Negara Bagian belum berkomitmen untuk membangun jalur kereta api bandara, namun ada indikasi bahwa mereka bersedia bekerja dengan Pemerintah Federal untuk mendapatkan opsi. Strambi mengatakan sekarang adalah waktunya untuk mulai merencanakan rute dan kasus bisnis.
“Mungkin sekitar delapan tahun atau lebih untuk membangun, dan Anda perlu melakukan penelitian yang benar-benar bagus untuk memastikan Anda mengerti apa yang ingin Anda capai, karena ini bukan hanya tentang lalu lintas ke kota. Ini harus menjadi bagian dari solusi kemacetan yang jauh lebih besar untuk Melbourne,” kata dia.
Nama Fokker F-27 di Indonesia populer sebagai pesawat angkut sedang yang dioperasikan TNI AU. Lain dari itu, pesawat dengan dua mesin turbo propeller ini juga pernah dioperasikan beberapa maskapai untuk melayani rute perintis, sebut saja Sempati Air, AirMarck Cargo, Trigana Air, Kalstar dan Merpati Nusantara Airlines (MNA), adalah nama-nama maskapai yang dahulu pernah menggunakan pesawat yang menyandang label “Friendship.” Sebagai pengguna terbesarnya di Indonesia adalah MNA yang pernah mengoperasikan 11 unit.
Baca juga: Fokker F-28, Pernah Menjadi Tulang Punggung Armada Garuda Indonesia
Sampai tahun 2005, diketahui MNA masih mengoperasikan Fokker F-27, namun tahukah Anda, bahwa maskapai plat merah Garuda Indonesia juga pernah menggunakan F-27 untuk melayani rute domestik. Berdasarkan catatan sejarah, Fokker F-27 dioperasikan Garuda Indonesia bersamaan dengan masa penggunaan Fokker F-28.
Garuda Indonesia mulai menggunakan Fokker F-27 pada tahun 1969. Oleh Dirut Garuda saat itu, Wiweko Soepono, F-27 dimaksimalkan sebagai mesin uang yang keuntungannya digunakan untuk pengadaan armada baru. Pengabdian F-27 di Garuda Indonesia berakhir pada tahun 1977, dan sejak itu Garuda Indonesia fokus menggunakan armada pesawat jet untuk penerbangan domestik, selain mengandalkan Fokker F-28, untuk misi penerbangan domestik dan regional BUMN tersebut mempercayakan pelayanan pada pesawat jenis Douglas DC-9.
Sebelum dioperasikan untuk angkut penumpang komersial, Fokker F-27 sudah digunakan PT Pertamina pada tahun 1966. Selama dioperasikan Pertamina, F-27 digunakan sesuai fungsi asasinya pesawat transport. Paling sering ke Medan, Palembang dan Sorong. Termasuk ketika Pepera (Pengumpulan Pendapat Rakyat) di Irian Barat tahun 1969.
Sementara TNI AU baru mulai menggunakan F-27 sejak 8 Agustus 1976. Kabarnya, salah satu alasan minat TNI AU pada F-27 adalah kesan positif KSAU saat itu, Marsekal Saleh Basarah ketika diundang ke Belanda. Dalam suatu perjalanan dinas, Saleh Basarah diterbangkan menggunakan F-27 VIP. Total delapan pesawat dibeli untuk TNI AU. Berbeda dengan versi sipil yang diberi label Friendship, versi sipil F-27 disebut Troopship, dengan penekanan pada kemampuan penerjunan pasukan lintas udara.
Baca juga: Anthony Fokker – Pria Kelahiran Blitar Yang Jadi Legenda di Dunia Dirgantara
Meski disebut-sebut Garuda Indonesia mengoperasikan beberapa unit F-27, namun mengutip dari planelogger.com, hanya ada dua unit F-27 yang terekam ‘jejaknya,’ yaitu F-27 600 PK-GFJ dan PK-GFP. Setelah Garuda tak lagi mengoperasikan F-27, pesawat yang ada kemudian dialihkan untuk memperkuat armada MNA.
Dari spesifikasi, Fokker F-27 dengan mesin 2x Rolls-Royce Dart Mk.532-7 mampu melaju dengan kecepatan jelajah 460 km per jam, sementara jarak tempuhnya mencapai 2.600 km. Untuk angkut penumpang, F-27 bisa di setting untuk 48-56 kursi.
Satu lagi ruang lingkup kerja manusia yang akan tergerus oleh perkembangan jaman, yaitu pengatur lalu lintas udara (Air Traffic Controller/ATC). Pada awal tahun 2017 kemarin, manukfaktur asal Swedia yang terkenal sebagai pemasok sistem senjata mutakhir, Saab AB merilis sebuah teknologi yang memungkinkan pemangkasan karyawan di dunia pemantauan lalu lintas udara, yaitu Digital Air Traffic Solutions.
Baca Juga: Digital Air Traffic Solutions, Saatnya Menara ATC Dikendalikan Secara Remote
Tentu saja, bukan hal yang aneh ketika teknologi mulai merangsek masuk, maka performa dari ATC itu sendiri akan meningkat. Sebut saja seperti jarak pandang si pengatur lalu lintas akan diperpanjang menggunakan perangkat kamera yang terpasang di sebuah tiang yang di simpan di lokasi strategis. Maka, secara otomatis peran manusia dalam sektor ini akan tergeser oleh teknologi, dan para petugas pengatur lalu lintas udara pun tidak harus berada dekat atau di dalam area bandara.
Digital Air Traffic Solutions menggunakan layar 360 derajat, sehingga petugas pengatur lalu lintas tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dengan teknologi baru ini. Prinsip dasarnya mirip dengan sebuah simulator. Penggunaan kamera ber-resolusi tinggi dan sensor High Definition (HD) yang terpasang di bandara akan memungkinkan petugas untuk mendapatkan kualitas visual gambar video real time.
Berbasis kamera canggih, petugas malah dapat mendeteksi keberadaan benda-benda yang mencurigakan di area lintasan pesawat, termasuk ketajaman visual pada malam hari. Bila ada obyek yang kurang jelas dilihat, petugas pun tinggal melakukan digital zooming.
Sebagaimana yang dihimpun KabarPenumpang.com dari laman airport-technology.com (12/10/2017), Saab Digital Air Traffic Solutions telah memenangi kontrak kerja sama yang dilayangkan oleh pihak Cranfield University, Inggris, untuk menerapkan sistem kontrol lalu lintas udara digital tersebut di Bandara Cranfield, Inggris.
Wakil Rektor dan Profesor Eksekutif di Cranfield University, Peter Gregson mengatakan bahwa menara kontrol digital tersebut akan memberikan dorongan signifikan terhadap Bandara Cranfield dan menunjang kemampuan riset universitas yang ia naungi. “Mengkombinasikan fasilitas yang ada dengan yang baru akan memperkuat Cranfield sebagai rumah fasilitas penelitian kedirgantaraan terkemuka di Eropa,” ujar Peter.
Baca Juga: Mengenal SkyTeam, Aliansi Penerbangan Internasional Garuda Indonesia
Secara keseluruhan, teknologi ini menggabungkan pemantauan citra dengan sistem lain, seperti tampilan radar, alat bantu navigasi, dan informasi tentang rencana penerbangan serta kondisi cuaca, dimana semua hal tersebut saling berkesinambungan dan dibutuhkan untuk menangani lalu lintas udara. Hingga saat ini, baru Bandara Cranfield saja yang menggunakan teknologi semacam ini di dunia.
Singapore Airlines, maskapai penerbangan kedua terbesar di dunia dalam aspek permodalan, dikabarkan baru-baru ini telah mengadakan kesepakatan untuk membeli armada pesawat baru dari Boeing dengan nilai total mencapai US$13,8 miliar. Kesepakatan ini ditandatangani di Gedung Putih pada Senin (23/10/2017).
KabarPenumpang.com melansir dari laman finance.yahoo.com (24/10/2017), Singapore Airlines secara keseluruhan membeli 39 unit pesawat jenis wide body untuk penerbangan jarak jauh, terdiri dari 20 unit Boeing 777-9 dan 19 unit Boeing 787-10 Dreamliner, yang kedua perusahaan dibuat di basis produksi di kota Seattle. Sampai saat ini Boeing sendiri sudah memiliki pesanan untuk 30 Dreamliner. Rencananya tahun depan, pesanan pertama Boeing 787 Dreamliner untuk Singapore Airlines akan mulai dikirimkan.
Karena merupakan pesanan dengan nilai fantastis, penandatanganan pembelian di Gedung Putih secara langsung disaksikan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Perdana Menteri Republik Singapura Lee Hsien Loong. Betapa tidak, proyek pesanan Singapura ini sangat menyenangkan Trump, mengingat akan menciptakan 70.000 lapangan kerja baru di AS. Dalam momen penandatanganan, dari pihak Singapore Airlines hadir CEO Singapore Airlines Goh Chon Phong dan Kevin McCalister, Presiden dan CEO Boeing Commercial Airplanes.
Baca juga: Singapore Airlines dan Grab Integrasikan Layanan Ridesharing di Satu Aplikasi
Bulan Oktober ini, Boeing sendiri ternyata meluncurkan seri yang pertama dari pesawat Boeing 787-10 di fasilitas Final Assembly-nya yang ada di South Carolina.
Minggu lalu, saat Trump menjadi tuan rumah untuk kehadiran Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras di Gedung Putih, Ia mengatakan bahwa negara Eropa tersebut sedang mencari cara untuk membeli pesawat tambahan dari Boeing dan pemerintah Amerika Serikat akan membantu dalam proses pembeliannya.
Baca juga: Singapore Airlines Pamerkan Desain Interior Mewah di Airbus A380 Terbaru
Sebenarnya, kesepakatan yang dilakukan bersama Singapura terjadi saat Boeing berada ditengah perselisihan perdangangan dengan manufaktur pesawat asal Kanada, Bombardier. Saat itu juga produsen kedirgantaraan Amerika Serikat menuduh pesaingnya menjual jet single board Series C baru dengan harga yang jauh lebih rendah di pasar Amerika Serikat.
Hal ini mengakibatkan Departemen Perdagangan Amerika Serikat lebih berperihak pada Boeing dan menempatkan tarif 300 persen pada Bombardier yang akan membuat jet di fasilitasnya di Alabama. Baru-baru ini, Airbus sebagai pesaing terbesar Boeing di industri pesawat terbang mengumumkan bahwa mereka akan mengambil saham mayoritas dalam program Seier C tersebut.
Dalam jagad maskapai Tanah Air, hanya dua perusahaan penerbangan yang memiliki pesawat berbadan lebar (wide body), yang pertama jelas Garuda Indonesia (GIA) dan kedua adalah Lion Air. Yang disebut terakhir bisa dibilang serasa tak ingin kalah dalam loncatan yang diraih GIA. Selain telah di dapuk sebagai maskapai dengan jumlah armada terbesar di Indonesia, dalam supremasi kepemilikan jumbo jet, Lion Air tak ingin ketinggalan dari GIA. Dan terbukti, operator Boeing 747-400 adalah GIA dan Lion Air.
Baca juga: Sepi Pesanan, Boeing 747 Beralih dari “Queen of the Skies” Jadi “Flying Truck”
Di dekade 90-an hingga awal tahun 2000, kepemilikan Boeing 747-400 atau yang kondang disebut Queen of The Skies merupakan prestis bagi setiap maskapai yang melayani rute internasional. Kala itu, GIA mengarahkan 747-400 untuk rute jarak jauh ke Eropa, sementara Lion Air menyasar penggunaan 747-400 untuk rute Umroh ke Arab Saudi. Dengan konfigurasi kelas ekonomi secara keseluruhan, Boeing 747-400 dalam sekali terbang bisa membawa 506 penumpang.
Pesawat yang memiliki empat mesin dan dapat terbang pada kecepatan Mach 0.85 atau 909 kilometer per jam, serta mampu terbang dengan jarak maksimum 13.570 km sampai 15.000 km. Dan 747-400 menjadi salah satu pesawat wide body pertama yang memggunakan winglet, sehingga aerodinamika pesawat meningkat dan ada penghematan dalam konsumsi bahan bakar.
Meski begitu di damba pada era 90-an dan secara teknologi masih memadai, toh akhirnya “end lifetime” jumbo jet ini sudah terasa sejak beberapa tahun belakangan. Permintaan pasar pada seri 747-400 merosot tajam, lantaran maskapai lebih menginginkan pesawat dengan kemampuan jarak jauh dengan ukuran yang tidak terlampau besar, seperti Airbus A330, Airbus A350, Boeing 777 dan Boeing 787 Dreamliner. Kondisi ini dipicu dari berkurangnya tingkat okupansi penumpang pada penerbangan jarak jauh.
Dan mengikuti kondisi pasar, GIA belum lama ini telah menyatakan resmi memensiunkan Boeing 747-400 PK-GSG setelah mengabdi selama 23 tahun. Kali ini pun langkah GIA juga diikuti oleh Lion Air yang akan memensiunkan keseluruhan dari dua unit 747-400 yang ada. Hanya saja ada perbedaan antara 747-400 GIA dan Lion Air, yakni GIA membeli pesawat jumbo jet gress dari pabrik, sementara Lion Air membeli 747-400 dengan status bekas pakai dari maskapai lain. GIA mulai menerima kedatangan tiga unit armada 747-400 (PK-GSH, PK-GSG dan PK-GSI) pada tahun 1994, sementara Lion Air baru mengoperasikan 747-400 sepuluh tahun kemudian.
Baca juga: 23 Tahun Mengangkasa, Boeing 747-400 Garuda Indonesia Akhiri Masa Tugas
Dikutip KabarPenumpang dari airfleets.net, dua unit Boeing 747-400 diberi nomer PK-LHF dan PK-LHG. Dan merujuk dari sejarahnya, kedua unit 747-400 Lion Air awalnya dioperasikan maskapai Singapore Airlines (1989) dan lewat beberapa kali proses jual beli dengan maskapai lain, sebelum digunakan Lion Air, kedua 747-400 adalah bagian dari armada Oasis Hong Kong Airlines, maskapai yang telah bangkrut sejak tahun 2008. Demikianlah sekilas sejarah pesawat wide body pertama milik swasta di Indonesia. Pasca pensiunnya Boeing 747-400, Lion Air kini mengandalkan Airbus A330-300 untuk melayani penerbangan ke Timur Tengah.
AirAsia akan memindahkan seluruh operasinya di Bandara Changi Singapura, yang saat ini berada di Terminal 1 ke Terminal 4 pada 7 November mendatang. Nantinya semua penerbangan dan pelayanannya baik kedatangan maupun keberangkatan di Terminal 4 tidak akan terjadi perubahan jadwal penerbangan dengan adanya kepindahan ini.
Baca juga: Tingkatkan Pelayanan, AirAsia Gaet Inmarsat Untuk Pengadaan On Board BroadbandKabarPenumpang.com merangkum dari siaran pers (19/10/2017), dengan adanya perpindahan, para penumpang maskapai berbiaya murah ini harus sampai di bandara kurang lebih tiga jam sebelum jadwal keberangkatan. Hal ini agar para penumpang memiliki waktu yang cukup untuk proses melalui terminal baru.
CEO AirAsia Logan Velaitham megatakan bahwa langkah ini sejalan dengan visi pengangkutan untuk menjadi maskapai penerbangan digital.
“Tahun ini fokus di Singapura adalah menerapkan layanan Fast and Seamless Travel (FAST). Kami berkolaborasi dengan Changi Airport Group untuk mengotomatisasti dan berinovasi pada pengalaman check in,” ujar Velaitham.
Di Terminal 4, AirAsia akan menyediakan 19 meja check in, 14 mesin drop kargo, dua loket cek dokumen dan dua loket pembayaran di Line 4 serta layanan check in untuk kelompok (grup) berada di jalur 5. Untuk diketahui, bagi pengguna AirAsia, yang bepergian menggunakan MRT dapat berjalan ke arah area kedatangan Terminal 2 dan akan ada bus antar jemput 24 jam yang disediakan gratis serta beroperasi setiap sepuluh menit sekali untuk tiba ke Terminal 4.
Terminal 4 ini merupakan terminal yang akan dibuka pada 31 Oktober 2017. Memiliki dua lantai, Terminal 4 merupakan terminal terkecil di bandara Changi yang ukuran besarnya setengah dari Terminal 3. Kapasitas penampungannya hingga 16 juta penumpang per tahun dan jika ditotal dengan keseluruhan penumpang yang bisa dihadirkan di bandara Changi menjadi 82 juta penumpang per tahunnya.
Baca juga: Staf Bandara Changi Resmi Gunakan Kacamata Augmented Reality
Nantinya pada hari dibuka, Cathay Pasific dan Korean Air akan menjadi yang pertama beralih pada Terminal 4. Dimana keberangkatan dan kedatangan pertama merupakan penerbangan dari dan ke Hong Kong yang dioperasikan oleh Cathay Pasific.
Selain itu Cebu Pasific, Spring Airlines dan Vietnam Airlines akan menyusul bersaman AirAsia pada 2 dan 7 November 2017 mendatang ke Terminal 4. Terminal 4 bandara Changi ini sejak selesai pembangunannya pada Desember 2016 lalu, telah melakukan 100 percobaan dengan melibatkan 2500 staff dan 1500 relawan.
Sebagai pengelola 13 bandara di Indonesia Tengah dan Timur, PT Angkasa Pura I (Persero) selain mendapat penghargaan dari Airports Council International (ACI) juga akan terus mengembangkan ke 13 bandaranya yang ada saat ini. Hal ini dikatakan oleh Direktur Utama AP I Danang S Baskoro yang ditemui saat konferensi pers di Graha Angkasa Pura I, Selasa (24/10).
Baca juga: Bebaskan Landing Fee Bagi Maskapai Baru, Angkasa Pura I Dukung Sektor Wisata NTT
Dalam pengembangannya ini, Danang mengatakan, akan mengacu pada sembilan bandara lainnya terlebih dahulu, yakni Yogyakarta, Surabaya, Solo, Semarang, Banjarmasin, Manado, Lombok, Ambon dan Balikpapan. Pengembangan pada sembilan bandara tersebut mencakup bagian di terminal, landasan pacu dan area komersialnya, serta pemindahan bandara seperti Adisutjipto ke Kulon Progo yang akan beroperasi pada 2019 mendatang, tepatnya sebelum pemilihan Presiden.
Alasan rencana pengembangan dipicu area komersial bandara saat ini sangat dinikmati oleh penumpang dan mereka merasakan kenyamanan dibandingkan hanya menunggu di ruang tunggu. Tak hanya sembilan bandara tersebut, dua bandara lainnya yakni Frans Kaisiepo di Biak dan Eltari di Kupang masih dalam proses pengembangan.
“Biak dan El Tari akan kita kembangkan setelah yang sembilan bandara tersebut selesai. Kita kembangkan karena potensi Timur Indonesia luar biasa untuk dijangkau wisatawan,” ujar Danang yang di wawancarai KabarPenumpang.com usai konferensi pers.
Baca juga: Dua Bandara Angkasa Pura I Raih Penghargaan Prestius Tingkat Internasional dari ACI
Dia mengatakan, pengembangan dua bandara lainnya ini mengikuti traffic di lapangan. Sebab diketahui, untuk bandara Biak dan Eltari traffic tertinggi ada pada siang dan malam hari sedangkan di siang hari bandara tidak ada aktivitas alias sepi.
“Siang itu kalau di El Tari sangat sepi, karena padatnya ya pagi sama malam. Profil penumpangnya itu seperti pejabat dan pebisnis dimana mereka berangkat pagi ke Jakarta dan kembali sore. Sama kaya orang Jakarta ke sana juga begitu sampainya pagi, sore pulang, makanya aktivitas siang itu tidak ada,” jelas Danang.
Danang menegaskan, kejadian ini tidak sama dengan Bali dan Lombok. Karena Bali dan Lombok memiliki traffic yang berbeda, penumpang sudah mulai ramai di pagi, siang dan malam hari dengan penerbangan. Kedepannya, semua bandara yang dikelola AP I akan disamaratakan pengembangannya dengan Bali dan Makassar, Danang memastikan tahun 2020 kesemuanya sudah selesai.