Peran Kopilot, Tak Sekedar Memperingan Kerja Pilot
Tecnam P2006T – Inilah Profil Pesawat Latih Buatan Italia yang Jatuh di BSD Tangerang Selatan
P2006T adalah pesawat monoplane sayap tinggi kantilever empat kursi bermesin ganda dengan roda pendaratan roda tiga yang dapat ditarik. Stabilatornya dipasang pada badan pesawat, sebagian besar di belakang sirip vertikal (stabilator adalah unit tunggal dengan potongan di tepi depannya yang dipasang ke tailcone). Roda hidung roda pendarat roda tiga ditarik ke dalam kerucut hidung; unit utama trailing-link ditarik ke dalam stub yang memanjang dari badan pesawat bagian bawah. Bagian badan pesawat berbentuk persegi panjang agak membulat, lebih tinggi daripada lebarnya. Sebuah pintu di setiap sisi badan pesawat menyediakan akses ke area tempat duduk; selain itu pintu keluar darurat disediakan di atas dua kursi depan, untuk digunakan jika deformasi badan pesawat akibat kecelakaan menghalangi pintu tersebut untuk dapat dioperasikan. P2006T pertama kali terbang pada 13 September 2007. Saat ini, pesawat prototipe X-57 Maxwell bertenaga listrik milik NASA sedang dikembangkan menggunakan P2006T sebagai struktur dasarnya. Dari spesifikasi, Tecnam P2006T punya panjang 8,7 meter, lebar bentang sayap 11.4 meter dan tinggi 2,9 meter. Pesawat ini punya berat kosong 819 kg, dan berat maksimum saat tinggal landas 1.230 kg. Tecnam P2006T dapat melesat dengan kecepatan maksimum 287 km per jam dan kecepatan jelajah 269 km per jam. Dengan bahan bakar penuh, pesawat dapat terbang sejauh 1.204 km dengan endurance 4,25 jam.Pesawat Tecnam P2006T PK-IFP yang dioperasikan Indonesia Flying Club jatuh hari ini di Sunburst BSD, Tangerang Selatan. 3 orang onboard dan semua meninggal dunia. 😢 Pada saat kejadian, pesawat sedang terbang dari Bandara Sakalanegara,Tanjung Lesung, Banten, menuju Bandara… pic.twitter.com/fsE8oFr1r8
— Gerry Soejatman (@GerryS) May 19, 2024
Airbus Flight Academy Mulai Gunakan Pesawat Latih Elixir yang Lebih Hemat Bahan Bakar
Berdasarkan Indeks Keamanan, Inilah 10 Negara Teraman Untuk Dikunjungi



Nilai Yen Melemah, Jepang Jadi Destinasi Wisata Terpopuler versi Mastercard Economics Institute
Jepang Tawarkan Paket Wisata dengan Kereta Mewah Yang Ramah Dompet
Cabin Tawarkan Layanan Sleeper Bus Full Service
Arsitektur Neo Indishce Bikin Stasiun Pasar Senen Tak Lekang Oleh Waktu


Gangchon Rail Park – Sensasi Berkeliling dengan Sepeda Rel dan Virtual Reality

Jerman Uji Coba Monocab – Pod Komuter Pedesaan yang Beroperasi di Jalur Kereta yang Tidak Digunakan

Setelah 37 Tahun, NASA Akhirnya Pensiunkan ‘Pesawat Eksperimen’ Douglas DC-8
Boeing 707 dan Douglas DC-8 – Dua Pesawat Legendaris Ikon Penerbangan Jarak Jauh Era 60/70-anSama seperti semua hal baik lainnya, masa pengabdian DC-8 akan segera berakhir ketika jet tersebut diterbangkan pada ketinggian rendah dari Pusat Penelitian Penerbangan Armstrong NASA di Edwards, California, ke lapangan terbang dekat Universitas Negeri Idaho. Untungnya, pesawat tersebut tidak akan dibatalkan karena akan memasuki masa pensiun di universitas, membantu melatih teknisi pesawat masa depan melalui program teknologi pemeliharaan langsung. Meskipun begitu, pesawat tersebut akan sangat dirindukan, dan mereka yang berada di dekat jalur penerbangannya dapat mendengar dan melihat pesawat jet legendaris bermesin empat tersebut terbang ke angkasa untuk terakhir kalinya. Pesawat ini menyelesaikan misi terakhirnya pada bulan April , dan persiapan untuk pensiun segera dilakukan setelahnya.

Douglas DC-8: Lambang Supremasi Penerbangan Jarak Jauh Garuda Indonesia di Era 60/70-anDouglas DC-8, yang pernah menjadi salah satu pesawat penumpang paling populer di dunia, kini telah mengalami masa-masa sulit karena maskapai penerbangan mulai memilih pesawat bermesin ganda yang lebih efisien. Beberapa diantaranya masih terdaftar secara global, meskipun hanya sedikit yang diterbangkan, dan tidak ada yang memiliki penerbangan penumpang terjadwal secara rutin. Namun, NASA mempunyai rencana pengganti untuk program laboratorium udaranya. Menurut laporan dari Airport Spotting , organisasi tersebut berencana untuk mengganti jet tersebut pada akhir tahun ini dengan Boeing 777-200ER yang efisien, yang dilaporkan diperoleh seharga $30 juta.
Saat Pesawat ‘Terpaksa’ Return to Base dan Divert Landing, Pilot Harus Penuhi Empat Syarat Ini
Pesawat dari empat maskapai domestik – Citilink, Super Air Jet, Batik Air, dan Lion Air- kompak melakukan return to base (RTB) dan divert landing setelah gagal mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali pada Minggu, 5 Desember lalu. Meski mendesak, RTB atau kembali ke bandara keberangkatan tidak bisa serta merta dilakukan. Ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi sebelum pilot memutuskan RTB.
Baca juga: Landing atau Divert? Inilah Delapan Cara Pilot Terbang dengan Aman
Sebelum sebuah penerbangan dijalankan, pilot dan kopilot terlebih dahulu bertemu dan membahas berbagai hal, seperti rute yang dilalui, bahan bakar minimum (bergantung pada jumlah awak, penumpang, kargo, cuaca, dan kemungkinan rintangan selama penerbangan), karakteristik runway, angin, jarak dari bandara keberangkatan ke bandara tujuan, informasi cuaca, dan informasi bandara tujuan serta bandara yang dilalui sepanjang perjalanan.
Semua ini menjadi kewajiban pilot sebelum memulai penerbangan dan memegang peran vital terhadap keselamatan dan keamanan penerbangan.
Karenanya, saat sebuah penerbangan oleh maskapai siap dijalankan, segalanya sudah sesuai perhitungan. Maka dari itu, ketika pilot memutuskan divert landing atau pengalihan pendaratan dan RTB, perhitungan yang tadinya dipersiapkan untuk sampai ke bandara tujuan harus disesuaikan dengan perhitungan untuk kembali ke bandara keberangkatan.
Baca juga: Empat Faktor Eksternal Penyebab Kecelakaan Pesawat Saat Take Off dan Landing
Menurut seorang pilot maskapai dalam negeri, Himanda Amrullah, ada dua faktor sebuah penerbangan melakukan RTB, teknis dan non teknis.
“Faktor teknis umumnya terjadi karena adanya gangguan pada sistem pesawat seperti mesin, struktur atau mekanisme teknis operasional pesawat yang menyebabkan kemampuan (capability) pesawat dalam melakukan penerbangan berkurang hingga di bawah 50 persen,” jelasnya.
Lebih lanjut, menurutnya, ada sedikitnya empat syarat pilot dalam sebuah penerbangan boleh melakukan RTB. Syarat pertama, jarak pesawat dengan bandara awal kurang dari satu jam. Andai lebih dari satu jam pun, bukan berarti pesawat dipaksa melanjutkan sampai ke bandara tujuan. Tetapi, pesawat secara SOP diarahkan mendarat di bandara terdekat atau biasa disebut divert landing.
Baca juga: Mengapa Pesawat Buang Bahan Bakar Saat di Udara? Simak Penjelasannya
Hal ini (divert landing) ke bandara terdekat, pun sudah dipersiapkan pilot karena, sebagaimana disebutkan di awal, pilot dan kopilot sudah membahas sebelum penerbangan dijalankan terkait bandara mana saja yang dilalui sepanjang perjalanan ke bandara tujuan.
Syarat kedua pilot memutuskan RTB adalah cuaca di bandara awal memenuhi syarat pendaratan, termasuk kondisi runway, apakah ketinggian genangan airnya (jika dalam kondisi hujan deras) masih di bawah ambang batas maksimal yang ditetapkan ICAO atau tidak dan lain sebagainya.
Syarat ketiga adalah terkait bobot pesawat. Dalam sebuah penerbangan, pesawat dipersiapkan untuk kondisi terburuk, dalam hal ini terkait bahan bakar. Misalnya, penerbangan Jakarta – Bali membutuhkan 10 liter Avtur. Realisasinya bisa jauh di atas itu untuk jaga-jaga.
Baca juga: Berapa Banyak Bahan Bakar yang Dibutuhkan Pesawat untuk Sekali Terbang?
Saat pilot memutuskan RTB, itu berarti bobot pesawat besar kemungkin masih di atas ambang batas yang telah ditentukan. Karena itu, pesawat biasanya melakukan ritual ‘kencing’ di udara atau membuang bahan bakar (Avtur) di atas ketinggian 2.000 kaki.
Adapun syarat keempat atau terakhir sebelum memutuskan RTB, pilot harus berkoordinasi dengan ATC, kru kabin, dan perusahaan serta staf darat di bandara.